Anakku, Kaka, waktu ibu menulis
ini, esoknya kamu berusia genap 3 bulan. Kelak, ketika sudah bisa membaca,
sudah mengerti bagaimana bayi bisa muncul dan terlahir, ibu akan membiarkanmu
membaca cerita ini. Cerita tentang kamu. Cerita tentang bagaimana kamu hadir
dan mewarnai hidup bapak dan ibu.
Nak, sebenarnya, kalau boleh
jujur, bapak dan ibu tidak pernah menyangka akan memilikimu secepat ini.
Khususnya ibu. Hehe. Dulu, ketika masih SMA, ibu berniat menikah di usia 28. Ibu
juga tak punya bayangan akan memiliki anak. Sebab setahu ibu, berkat cerita
omamu, melahirkan itu sakit sekali. Memiliki anak itu menyusahkan sekali. Selepas
SMA pun, ibu merasa dunia dan bumi sudah cukup padat, semrawut, dan gila untuk
ditambahi lagi populasinya. Sepertinya cukuplah sudah biar ibu dan bapak dan
semua orang di sini saja sekarang yang semrawut dan merasakan kegilaan ini. Tapi
ternyata jalan ceritanya berbeda. Lagi-lagi ibu cuman bisa mesem dan mbatin, Gaya banget lu Yop dulu, sok idealis.
Nyatanya, ketika ibu bertemu
bapakmu dan jatuh cinta, ibu ingin cepat-cepat menikahi beliau. Hehe. Jangankan
umur 28, kuliah saja belum lulus. Masih bau kencur, labil, dan embuh. Tenang
Nak, pada saatnya nanti kamu akan merasakan perasaan macam ini. Agak gak logis,
impulsif, tapi asyik. Jadi kamu bisa memahami posisi dan kondisi ibu waktu itu.
Meski pasti sedikit berbeda, karena kamu laki-laki.
Benar saja Nak, setelah ibu dan
bapak pacaran cukup lama, 5 tahun waktu itu, akhirnya kami menikah. Seperti
yang ibu bilang di paragraf kedua tadi, semoga kamu masih ingat, sejujurnya
kamu muncul di luar rencana, Sayang. Bukan tidak diharapkan lho ya, cuman di
luar rencana. Tidak diharapkan dan di luar rencana itu sangat berbeda, jadi
jangan salah paham ya. Sebagai wanita yang suka anak kecil, kadang ibu
ingiiiiiin sekalii langsung bet bet bet punya anak. Tapi kan punya anak tidak
segampang itu. Jadi ibu kan tidak semudah itu. Apalagi ibu masih suka haha
hehe, main ke sana kemari, masih pengen mengembangkan potensi. Maaf ya, Ka,
kalau alasan yang terakhir ini terdengar agak sok yes. Tapi memang begitulah
adanya. Mental ibu jujur saja waktu itu masih mental krupuk, yang dicemplungin
ke kuah bakso. Ting plekenyik.
Program untuk menunda memilikimu
akhirnya jebol, Nak. Metode penanggalan untuk menunda kehamilan, apalagi buat
tipe orang yang suka teledor macam ibu sangat tidak dianjurkan. Belajarlah dari
pengalaman ibu dan bapak ya. Hehe. Akhirnya ibu positif hamil. Perasaan ibu
waktu tahu akan punya kamu itu agak random.
Ya sedih, ya takut, ya seneng, ya excited.
Kayaknya bapakmu sih sama aja. Coba nanti kroscek sendiri ke bapak. Ibu merasa
masa muda ibu sudah benar-benar usai. Oiya, ibu lupa ngasi tahu ya, waktu ibu
hamil kamu, ibu berusia 26 tahun. Sebenernya gak muda-muda banget sih, tapi
buat ibu itu masih kecepetan. Please jangan
tersinggung lho ya, Sayang. Mengertilah.. Tapi kemudian ibu ikhlas Nak. Ibu
bersyukur dan senang sekali akan memilikimu. Ibu, yang suka sekali anak kecil
ini akhirnya akan punya sendiri. Rasa penasaran bagaimana rasanya punya anak,
atau nanti kalau punya anak akan mirip siapa, akhirnya akan terjawab sudah. Lagi
pula bapakmu kan emang sudah wayahnya punya anak. Maaf ya, Pak. Sudah
diperhalus kok bahasanya. Hehe.
Awal hamil kamu? Sebentar Nak,
sabar Sayang. Akan ibu ceritakan.
Lagi-lagi ibu bersyukur karena
awal hamil kamu ibu gak merasakan susah yang teramat sangat. Mual iya, lemes,
pusing, dan mood swing. Muntah sekali
dua kali saja. Itu pun cuman di trimester awal. Dari situ ibu yakin bahwa ibu
mengandung janin yang kelak mirip bapaknya. Sebab semasa hamil bapak, simbahmu
sama ngebo-nya seperti ibu. Beda
dengan oma yang selama hamil 3 anak (ibu, pakdhe, dan tantemu) banyak banget
keluhannya.
Setelah 3 bulan hamil kamu,
akhirnya ibu dan bapak pergi ke dokter kandungan yang sudah kami sepakati. Lho,
kenapa baru ke dokter setelah usia kandungannya 3 bulan, Bu? Nanti ibu
ceritakan langsung saja ke kamu, ya. Soalnya alasannya sedikit personal, malu
kalau dibaca orang banyak. Di momen itulah ibu dan bapak pertama kalinya
melihatmu, Sayang. Kamu yang bentuknya belum jelas, tapi sudah bisa diliat
gerakannya. Sepulang dari periksa, ibu sempat menangkap ekspresi bapakmu yang
bersinar. Tentu karna tahu bahwa kamu memang nyata ada, hidup, dan bertumbuh.
Bisa dikatakan itu momen magis kita bertiga.
Anakku, Bhadrika. Ibu tidak
nyidam aneh-aneh ketika mengandungmu. Pengen makan ini itu sih iya, tapi gak
susah. Sebelum hamil kamu pun ibu sudah suka pengen makan ini itu. Beruntungnya
bapakmu. Ibu juga masih bekerja, menggambar, jalan-jalan, pergi ke sana kemari
sendiri, naik motor, nyetir mobil, bahkan sampai usia kandungan 40 minggu. Ibu
tahu kamu kuat, seperti arti namamu. Oh iya, ngomong-ngomong soal nama. Lupa
waktu kamu usia berapa bulan di perut, ibu dan bapak dengan mudah dan cepatnya
menyiapkan dua nama. Dua nama karena kami waktu itu belum tahu jenis kelaminmu.
Sebab kamu baru menunjukkan jenis kelamin di usia 7 bulan.
Ibu bilang pada bapakmu kalau
ingin memberimu nama dari Bahasa Sansekerta. Dan mungkin hanya sekitar 15
menitan berselancar di internet, kami sudah dapat saja nama yang cocok untukmu.
Bhadrika Nagendra. Lelaki yang kuat dan gagah berani. Karena nama itu kami rasa
cukup sulit dihafal dan dieja, jadi kami panggil saja kamu dengan nama pendek: Kaka.
Terdengar pendek dan cute, kan? Eh,
tapi kan waktu itu ibu dan bapak bapak belum tahu kamu laki-laki ya? Jadi opsi
kedua, untuk nama perempuan kami memilih nama Dira Ekanta, gadis yang tekun dan
bijaksana. Meski pada akhirnya terbukti feeling
kami berdua benar karena sudah memanggilmu “Kaka” bahkan jauh sebelum jenis
kelaminmu ketahuan.
Sekitar setelah 40 minggu,
akhirnya kamu lahir juga, Nak. Jadi jangan salah ya. Sebenarnya, para ibu
normalnya mengandung selama 39-41 minggu. Jadi lebih dari 9 bulan, atau malah
10 bulan. Tapi sampai sekarang banyak sekali orang yang bikin lagu, nyebut,
ngungkit bahwa wanita mengandung selama 9 bulan. Padahal lebih, dan mengandung
selama itu tidaklah mudah.
Begini cerita proses kelahiranmu,
Nak..
Hari Kamis, 24 November 2016 dini
hari ibu mulai mengalami kontraksi yang durasinya tidak lama, dan interval satu
kontraksi dengan yang lain belum terlalu dekat. Itu pun masih terasa seperti
kram kram menstruasi hari pertama. Tentu kamu tidak tahu rasanya kram
menstruasi hari pertama ya, kamu kan laki-laki. Intinya, kontraksi yang ibu
rasakan waktu itu belum terlalu hebat. Masih biasa lah. Ibu sebenarnya sudah
berharap bahwa hari itu kamu akan lahir. Sudah gak sabar pengen lihat kamu dan sudah
engap dengan perut yang segede semangka. Tapi ternyata setelah beberapa lama,
kontraksinya hilang.
Jumat, 25 November dini hari.
Kontraksi itu muncul lagi. Seingat ibu sih waktu itu jam 1 pagi. Ibu masih sempat
watsapan dengan teman ibu di grup GKI (Gunjing Klub Indonesia) yang cuman
berisi 6 orang (nanti ibu kasih tahu kamu siapa saja yang ada di grup itu,
hehe) sambil meringis meringis nahan sakit. Sakitnya masih sama, belum banget. Kali
ini kontraksinya timbul tenggelam lebih intens, dan durasi sedikit lebih lama. Menurut
beberapa instruktur yoga hamil yang ibu tonton di Youtube, ada baiknya waktu
kontraksi datang lebih intens dan kuat, si ibu bisa melakukan beberapa kegiatan
seperti jalan kaki, mandi air hangat, nungging nungging, atau duduk di gym ball sambil menggoyang-goyangkan
panggul. Ibu melakukan yang terakhir. Dari dini hari, subuh, sampai matahari
terbit kontraksi itu terus muncul dengan intens. Aduh jangan ditanya berapa
menit sekali ya, ibu lupa. Yang inget cuman nyerinya. Bapakmu sudah siaga.
Nunggu komando dari ibu doang untuk berangkat ke rumah sakit.
Paginya, pukul setengah 6 pagi, ibu
sempat ke kamar mandi untuk memakai pembalut karena sudah mulai muncul flek.
Perasaan ibu waktu itu super excited
dan agak nervous. Pas balik dari
kamar mandi dan mau tidur di kasur, mak
pyurrr air ketuban ibu pecah begitu saja. Lumayan banyak, Nak. Segeralah
ibu, bapak, dan simbahmu ke rumah sakit. Sampai di UGD dicek oleh bidan sudah
sampai bukaan berapa. Pas ibu dengar ternyata belum bukaan sama sekali, mayan
dongkol juga sih. Karena air ketuban ibu sudah pecah sebelum waktunya, maka ibu
sudah harus berada di ruang bersalin. Kontraksi terus berjalan dan semakin
hebat. Bukaan demi bukaan terjadi dengan sangaaaat lambat. Katanya sih memang
begitu kalau anak pertama, walau ada juga ibu baru yang mengalami prosesnya
dengan cepat.
Di minggu-minggu terakhir ibu sempat
berpesan kepada bapakmu untuk melakukan beberapa hal ketika nanti ibu mengalami
kontraksi hampir lahiran, seperti mengelus kepala, memijat-mijat halus punggung,
mengingatkan untuk mengatur napas, dan memberikan kata-kata penyemangat.
Ternyata Nak, pada praktiknya ibu justru tidak ingin disentuh sama sekali. Ibu
dengan juteknya menepis tangan bapakmu yang menyentuh-nyentuh atau disodorkan
untuk ibu pegangi ketika kontraksi datang dengan hebatnya. Rasanya badan sakit
semua, tulang-tulang terasa ngilu hebat. Ibu tidak ingin disentuh dan tidak
ingin mendengar suara apa pun. Kalau bisa malah tidak usah ada yang menjaga.
Tapi tentu itu tidak mungkin, karena bagaimanapun, ibu tetap butuh pendamping
untuk memberi semangat, mengingatkan ibu untuk mengatur napas, nyuapin ibu yang
sama sekali gak napsu makan selama kurang lebih 18 jam kontraksi (iya, diisi
makanan, yang ada malah muntah), serta ngipasin dan ngelapin keringet ibu yang
sejagung-jagung. Dan itu semua bapakmu lakukan dengan telatennya (gantian dengan
simbahmu juga btw). Kalau ada wanita yang lihat bapakmu di momen itu, sudah
pasti akan termehek-mehek. Beberapa kali ibu bahkan dicium oleh bapakmu di
depan para bidan dan dokter. Sayangnya momen romantis itu terjadi di saat
genting yang semuanya terasa sama di diri ibu, sakit. Hehehe. Namanya juga lagi
proses lahiran.
Memang sudah sepantasnya seorang
ibu kesakitan selama proses melahirkan, karena begitulah proses alami persalinan
normal. Jadi sebisa mungkin ibu bersabar, menarik napas lewat hidung dan
mengembuskan lewat mulut, mendesis, menahan semua itu sampai kamu lahir. Tidak
ada kata keluhan, apalagi marah-marah. Ibu berusaha untuk tetap tenang meski
suasana jiwa raga tak keruan. Dicoblos 4 kali karena si bidan gak nemu pembuluh
darah untuk infus pun ibu pasrah. Sekitar satu dua jam setelah bukaan 8, pukul 19.10 tepatnya akhirnya kamu lahir dengan indahnya. Rasanya nikmat sekali bisa mengeluarkanmu dari
rahim ibu. Lega sekali. Awalnya tangisanmu tidak begitu lantang, tapi setelah
dibersihkan oleh para bidan, kamu menangis keras sekali. Ibu harus akui, kamu bayi
paling tampan yang pernah ibu lihat. Persis bapak, kata simbahmu. Tentu ibu percaya
itu. Mungkin ini terdengar aneh, tapi tidak ada keharuan yang muncul ketika
kamu lahir. Ibu apalagi bapakmu tidak menangis haru sama sekali. Kami malah
senyam senyum girang kayak anak kecil dapat mainan baru. Sungguh momen yang jauh
dari suasana melo dan mengharu biru. Apalagi ibu masih harus dapat jahitan
cukup banyak usai melahirkanmu. Yes, the
struggling isn’t over yet.
Ternyata menjadi orangtua baru tidaklah
mudah, Nak. Banyak yang belum ibu apalagi bapakmu tahu tentang seluk beluk
perbayian. Kami terlalu menyepelekan dan santai. Benar saja, bulan pertama adalah
bulan pontang panting. Langsung searching
tiap panik atau ada masalah baru muncul (untung sudah ada internet) dan tanya sana
sini. Pontang panting deh. Dari sini kamu bisa belajar, Ka. Sebisa mungkin kamu
sudah punya basic pengetahuan tentang
bayi, sebelum kamu punya anak. Jangan dong
dong blong kayak bapak dan ibu. Pelajari apa yang harus dan tidak boleh
dilakukan usai bayi lahir. Pelajari tentang per-ASI-an (jangan salah, laki-laki
juga wajib sekali tahu tentang ini). Bagaimana seharusnya merawat bayi dan
menjadi suami siaga. Suami siaga berarti suami yang berpengetahuan luas, selalu
ada saat dibutuhkan, rela membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
mengurus anak, penuh pengertian dan kasih sayang.
Anakku, Bhadrika, dulu, mungkin
di masa kakek kakekmu ke atas, kaum pria memang sangat jauh dari urusan ini.
Maksud ibu urusan rumah tangga dan anak. Yang mereka tahu cuman terima beres.
Kalau ada apa-apa perihal urusan domestik dan anak bisanya cuman nyalahin
istri. Yah, seharusnya ibu tak menyamaratakan, karena bisa saja ada beberapa
pria yang tidak begitu. Tapi semakin ke sini, ibu rasa, sudah banyak pria yang
punya kesadaran akan kesetaraan gender. Bapakmu contohnya. Mereka tidak ragu
untuk turun mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Mereka juga membiarkan
istri mereka bekerja dan berkarya. Beberapa pria bahkan memilih profesi sebagai
bapak rumah tangga. Ibu pikir pada masamu nanti sudah tidak ada lagi isu
tentang kesetaraan gender. Yah, semoga saja.
Kaka, terima kasih sudah membaca
cerita ibu yang panjang ini ya. Jadi 4 halaman kalau dalam format A4, 9 halaman
format A5. Semoga cerita ibu bisa jadi bukti sejarah bahwa kehadiranmu sangat
berarti buat bapak dan ibu. Ibu sangat menyukai kenangan, maka ibu mengabadikan
ini.
Anakku sayang, Bhadrika Nagendra,
selamat ulang bulan yang ketiga. Ibu percaya, sesuai namamu, kamu akan tumbuh
menjadi anak yang kuat dan pemberani yang semoga bisa berguna untuk sesama
makhluk hidup dan alam sekitar. Peluk dan cium.
Kamu usia 3 bulan kurang 1 hari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar