Senin, 02 Desember 2013

Gemar Menangis

Rasanya malu sekali mengakui bahwa aku yang hampir 24 tahun ini gemar sekali menangis. Ya, ya, sebut saja  cengeng. Entah sejak kapan aku mulai gemar sekali menangis. Mungkin sejak lahir, atau mungkin malah sejak kuliah? Hahaha, sepertinya tidak.

Beberapa peristiwa dengan tangis bombay masih jelas sekali tergambar di ingatan. Bahkan peristiwa-perstiwa masa kecil. Seingatku, saat kecil banyak sekali hal yang bisa membuatku menangis. Seringkali karena takut, dimarahin, atau tersudutkan. Ada beberapa peristiwa kecengengan masa kecilku yang masih kuingat dengan jelas. Sebenarnya bukan beberapa, tapi banyak. Hahaha.

Aku ingat betul, ketika belum sekolah, aku sering sekali menangis ketika akan ditinggal mamahku bekerja. Aku bahkan masih ingat rasa sedihnya saat mamah pamit pergi bekerja. Seperti akan kehilangan lama sekali. Padahal siang atau sore, mamah pasti pulang.

Aku juga sering sekali menangis sesudah muntah. Sepertinya aku pernah cerita tentang kebiasaan muntahku ketika masih kecil. Iya, dulu ketika kecil, aku sering sekali muntah. Bahkan bisa beberapa kali dalam sehari. Entah karena kekenyangan, perjalanan jauh, tertawa terbahak-bahak, menangis, baju basah karena keringat, dll. Dan sehabis muntah biasanya aku menangis. Kadang karna dimarahin mamah. Tentu saja mamah marah karena capek membersihkan muntahanku, baju, sprei, dll. Menangis karena malu, karena takut. Pokoknya nangis saja.

Aku juga pernah menangis karena berantem dengan teman. Tendang-tendangan dengan Nia (salah satu kawan dekat di SD) di tangga, lalu aku hampir jatuh dari tangga. Mungkin karena kaget dan takut, kemudian aku lari ke kelas, sambil menangis. Satu kelas geger. Aku malu sekali. Tapi sayangnya, air mataku gak pernah malu keluar tanpa berhenti. Kemudian, Nia datang menghampiriku ke kelas, dan minta maaf. Padahal sebenarnya dia tidak salah.

Aku pernah menangis sesudah aku memukul perut Ardi (teman main komplek rumah) ketika kami berebut sepeda baru milik seorang kawan yang lain. Aku lari ke rumah sambil menangis. Lalu Ardi dan kakakku menyusul. Ardi meminta maaf padaku. Aku sungguh malu. Aku ingat betul, aku yang masih sesenggukan berkata,”kamu gak salah kok” ketika Ardi mengulurkan tangannya. Tentu saja Ardi dan kakakku saat itu pasti bingung. Kenapa aku menangis jika aku bahkan tidak merasa ‘disalahi’ dan malah memukul perut Ardi duluan. Mungkin aku merasa bersalah atau khilaf, sudah terlalu emosi dan memukul perut Ardi. Mungkin juga aku kaget kenapa tiba-tiba aku memukul Ardi. Atau mungkin aku justru takut dimarahi atau balas dipukul. Entahlah akupun bingung waktu itu.

Aku sering menangis karena berantem dengan kakakku. Biasanya aku menangis karena marah dan dongkol padanya.

Ketika remaja pun aku masih gemar menangis. Tapi mungkin sedikit berbeda, karena sembunyi-sembunyi. Jarang sekali aku menangis di depan orang lain, kecuali jika kami sangat dekat atau punya hubungan khusus.
Pernah suatu kali, ketika aku SMA dan sedang mengantar temanku pulang, mengalami kecelakaan. Tidak ada luka yang parah pada kami. Cuman motornya saja yang jadi lumayan hancur. Apesnya lagi, itu motor mamahku. Pertama yang terbayang di kepala, tentu saja sosok mamahku yang akan marah besar mengetahui hal itu. Singkat cerita, entah bagaimana juntrungannya, aku ditemani Batozaey. Dia adalah mantanku. Bisa dibilang yang paling baik dan perhatian, bahkan hingga sekarang. Dia mengantarkanku ke dealer dan menemaniku membetulkan motor. Tentu saja dia juga yang menemaniku dan menghiburku ketika aku nangis sesenggukan di bengkel dan juga di rumah. Entah berapa liter air mata yang kukeluarkan di hari itu. Malu sekali aku. Sedih sekali.

Beberapa kali aku juga menangis karena marah pada adikku. Tidak, kami tidak bertengkar. Aku hanya jengkel pada sifat keras kepala dan cueknya pada pekerjaan rumah. Ketika aku sudah marah, biasanya aku hanya menegurnya dengan mengatakan,”kamu nih gak punya perasaan…”. Itu pun dengan intonasi yang sangat rendah. Tapi ya begitulah, setelah balik kanan dan pergi ke kamar, biasanya aku lalu menangis karena dongkol. Rasanya sakit sekali menahan emosi agar tidak meledak.

Belakangan, yang baru, aku pernah, marah dan adu mulut dengan salah satu tukang pakir di salah satu kampus swasta di Jogja. Setelah acara adu mulut, aku mengikuti ujian lisan yang kemudian hasilnya tidak begitu bagus. Walhasil, perasaanku mendadak jadi begitu buruk, sehingga kuputuskan bolos kuliah berikutnya. Aku lalu pulang dan menangis sejadi-jadinya. Hari itu emosiku benar-benar dibuat sangat jelek. Dan memang pulang, lalu menangis adalah hal yang paling kubutuhkan. Beberapa hari sesudah kejadian itu, aku bahkan malas parkir di tempat yang sama. Sampai hari ini, aku masih bête ketika melihat wajah tukang parkir itu. Duh, ingin sekali punya hati yang legawa, agar bisa melupakan kejadian itu.

Kemarin, aku mengalami insiden baru lagi yang membuat aku menangis sesenggukan.  Insiden es jeruk. Tapi malas sekali kuceritakan kronologisnya di sini. Yang jelas rasanya tidak enak. Antara marah, takut, dongkol, sedih, semuanya jadi satu. Sampai saat ini, masih bisa kurasakan emosiku waktu itu. Bisa saja aku nangis lagi jika dibahas. Syukurnya, saat itu aku punya kamu yang rela membiarkan kaos dan celanamu basah karena air mataku. Memberikan kalimat-kalimat lucu dan beberapa kali mengejek sehingga aku justru tertawa dan merasa lebih baik.

Seringkali aku menangis karena marah, dongkol, sakit, dan mendengar kata-kata kasar atau menjatuhkan. Malu dan sedih rasanya menyadari bahwa aku teramat mudah mengeluarkan air mata, bahkan untuk hal-hal sepele. Sudah berkali-kali kucoba untuk tidak mudah menangis, tapi rasanya nyeri sekali jika kutahan. Sebenarnya aku juga takut  akan melukai orang lain jika emosiku tidak kutahan. Jadi biasanya aku memilih menahannya, dan lalu menangis. Tapi justru dengan menangis aku bisa merasa lega tanpa harus melukai siapapun. Meskipun demikian, aku sering berpikir bahwa ada yang salah dengan diriku karena gemar menangis. Mungkin ini penyakit. Atau mungkin ini kelainan. Namun, walaupun cengeng, aku tidak suka dibilang lemah. Sebab menangis tidak selalu tentang perkara lemah dan tidak berdaya, tapi lebih pada perkara menahan lalu meluapkan emosi. Apalagi mengingat aku jarang menangis di depan orang lain, kecuali orang-orang terdekat. Kalaupun disuruh memilih, aku lebih memilih jadi wanita yang gemar menangis daripada yang gemar menyakiti orang lain. Hidup itu pilihan kan? Hahaha *alesaaaaaann


PS: Sekarang aku justru bersyukur karena kegemaranku itu. Sebab kita yang sangat berbeda (bisa jadi) dipertemukan untuk (bisa jadi) saling melengkapi. Iya, kamu yang seumur hidup hampir tidak pernah menangis. J

Tidak ada komentar: