Selasa, 07 Februari 2012

Tentang Bus kota, si Pengangkut penumpang

Suatu ketika, aku sedang berkumpul bersama kakak, adik, dan mamahku di rumah. Kami mengobrol santai, bercanda, saling mengejek, mengolok. Ritual yang selalu ada jika bertemu. Sampai pada sebuah obrolan yang bermula dari sebuah tayangan di televisi dan juga dari adikku yang suka mengeluh. DI televisi ditampilkan informasi tentang angkutan umum. Dan adikku, dia mengeluh tentang kemalasannya menempuh perjalanan yang dia rasa cukup jauh dan melelahkan dengan berjalan ataupun naik angkot. Lalu aku yang tukang protes angkat bicara. Dari dulu memang bicara gemar diangkat. *krik.

Aku cerita ke adikku bahwa masa sekolahku jauh lebih prihatin daripadanya. Sekolahku lebih jauh dan tentu saja perjalanannya lebih melelahkan. Kalau berangkat, aku harus naik sepeda, lalu menitipkan sepeda, kemudian jika ingin cepat, ya naik bus kota, atau angkutan umum  seperti dayatsu ( dari kata Daihatsu) jika ingin lebih nyaman dan jika punya lebih banyak uang atau jika bangun lebih awal. Setelah naik bus, aku masih harus jalan beberapa ratus meter menuju sekolah. Itu kalau pagi. Bayangkan saja betapa tersiksanya jika pulang sekolah dan panas-panasan. Bisa dibayangkan legamnya kulitku walau sudah pakai topi, jaket, kadang kaos kaki panjang. Amit-amit panasnya. Sesampai di rumah, seragamku basah, karena keringat. Langsung kugantung di hanger atau gantungan baju untuk diangin2kan jika besok masih harus memakai seragam yang sama. Setelah itu baru makan dan langsung tidur dengan kipas angin berkecepatan tinggi dan sarung yang berasa masih adem kebawa hawa semalam. Itu kalau ada makan siang. Kadang aku harus menunggu mamahku atau kakakku beli lauk. Kadang aku langsung tidur dalam keadaan laper belum makan siang sambil mewek karna bête, kecapekan, kelaperan.  Itu aku. Di tahun-tahun SMP sampai SMA kelas 1. Kelas 2 SMA, aku bersyukur karena aku bisa pakai motor ke sekolah. Aku pinjam motor kakakku yang sudah kuliah. Dan karna dia jalur extensi, maka kuliahnya sore - malam. Motornya nganggur di pagi dan siang hari.

Lalu kakakku yang mendengar keluhan adikku juga tak mau kalah. Dia cerita bagaimana pengalamannya ke sekolah. Bagaimana dia naik angkot atau bus kota, atau jalan kaki, atau naik sepeda. Bagaimana ia panas-panasan, dan harus bangun pagi karna sekolahnya yang jauh. Jauh lebih jauh dari sekolahan adikku yang sekarang, yang hanya 5-10 menit dari rumah. Tapi kakakku itu hobbynya telat ke sekolahan ding. Haha. FYI, aku dan kakakku bersekolah di tempat yang sama dari TK sampai SMP. Ketika SMA pun sekolah kami bersebelahan. Jadi perjuangan kami tidak jauh beda laah yaa.

Setelah cukup puas menyerang adikku dengan romantisme perjalanan ke sekolah, aku dan kakakku malah ngobrol sendiri. Adikku cuman diam. Mungkin dia ngumpat-ngumpat dalam hati.

Aku dan kakakku heboh berbagi cerita tentang pengalaman kami menggunakan bus kota jika ke sekolah. Dari tarif masih 500 perak sampai 2000an per orang kalau gak salah. Aduh lupa juga deh. Jadi Bus kota Di Semarang ini dipakai oleh berbagai kalangan. Kalau pagi tiba, ketika orang-orang mulai beraktivitas, bus kota menjadi, bisa dibilang tidak manusiawi. Bus kota yang biasa ada di Semarang berwarna kuning dan biru putih untuk DAMRI. Bus DAMRI lebih besar dan lebar. Tapi baik bus kuning maupun bus DAMRI, kedua-duanya sama-sama kalapnya kalau ngangkut penumpang. Kalau jam-jam berangkat atau pulang kerja atau sekolah, Bus-bus ini aka sangat amat penuh. Sampai beberapa orang berada di ujung pintu, bergelantungan. Ada yang dengan satu tangan berpegang di pipa pegangan yang atas, lalu dua kaki berpijak di ujung pintu masuk, ada juga yang dua tangan dan satu kaki, tak mau kalah yang hanya satu tangan dan satu kaki bertumpu, lebih tak mau kalah lagi yang hanya bertangan kosong. Iya, yang terakhir itu khusus yang punya kesaktian.

Tadi itu yang bagian penumpang yang overload. Karena overloadnya penumpang, maka muncullah teori bidang miring lengkap dengan perhitungan atas: gaya, berat, tinggi, dan jarak bidang miring. Singkat cerita dan itung-itungan, bus kota itu mengalami kemiringan ke kiri yang sangat signifikan. Mungkin bus kota itu komunis atau revolusioner. Bisa jadi. Dan sebenarnya yang lebih berasa ngeri atas kemiringan bus kota itu adalah pengendara motor, mobil, atau orang di jalan yang melihat kemiringan bus kota ketimbang penumpang bus kota itu sendiri. Kalian juga musti tahu, aku pernah sangat telat, dan terpaksa aku juga harus bergelantungan. Karena kalau mau nunggu bus berikutnya bakal lama banget, dan belum tentu kosong juga. Walhasil aku bergelantungan uda kayak anak2 cowok SMA STM yang biasa melakukannya, sambil tak berhenti berdoa agar tak jatuh. What an experience!

Kalau berbicara tentang bus kota, apalagi sama kakakku memang tak ada habisnya. Kebanyakan cowok memang lebih memilih bus kota dari pada dayatsu. Karena lebih murah dan lebih cepat. Cuman memang tidak selalu bisa duduk sih. Dayatsu terasa lebih nyaman karena pasti duduk dan tidak terlalu umpek-umpekan. Cuman yah lebih mahal dan lelet, soalnya kalau ngetem lama banget. Bentuknya seperti mobil Carry. Tahu kan yah pasti.

Pengalaman yang lain tentang bus kota adalah tentang penjahat kelaminnya, dan kaum mesumnya. Mereka sering banget memanfaatkan keramaian untuk melakukan modusnya. Aku pernah sih beberapa kali. Cuman sebelum mereka macem-macem, aku uda semprot. Atau aku pergi menghindar. Aku pernah melihat seorang cewe SMA di grepe-grepe di dalam bus kota, tapi aku bête dan nyesel karena cewek itu gak berani melawan dan aku juga diem aja liat pemandangan mengerikan itu. Nyesel deh kenapa aku gak bersikap tegas waktu itu, malah diam aja. Pokoknya di bus kota itu yah dari pelajar, pekerja kantoran, bakul blanjan, copet, preman, cabul, jadi satu. Jadi hati-hati yah kalau naik bus, jaga diri dan barang bawaan.

Beralih ke cerita cinta monyetku yang sedikit banyak berlangsung di bus kota. Ecieee. Jangan salah lho. Bus kota gak melulu serem dan gak nyaman. Ada beberapa cerita menarik yang muncul dari bus kota. Dari mas-mas sekolahan atau kuliahan manis dan kece yang sering kutemuin di bus kota sampai cinta monyetku jaman SMA. Jadi dulu kelas satu SMA akhir-akhir, aku sempet naksir sama temen sekelas. Ganteng memang. Yelah, siapa sih yang gak suka cowok ganteng? Kulitnya hitam, peranakan Arab gitu. Tapi Arab yang item. Jawa Arab kali yah. Gak terlalu tinggi. Lah! Terus gantengnya sebelah mana sihhh? Hhe. Pokoknya ganteng. Gantengnya Arab gitu lah. Dia cool banget. Gak kaya cowok sekelas lainnya yang ribut dan urakan banget. Dia suka segala sesuatu yang berhubungan dengan Jepang. DIa juga muslim yang taat. Kalau senyum, udah deh, cowok bakal mikir-mikir juga jadi gay kayaknya. Senyumnya menawan banget. Lebih dari manis. Kalau menatap, menghanyutkan. Kalau ngomong, suaranya berat gitu. Seberat pesonanya. Halah.  
Cinta monyetku ini sering menggunakan bus kota ketika pulang sekolah. Kupikir dia tuh biasa-biasa aja. Bukan anak orang kaya gitu. Karena dari penampilannya pun biasa aja. Gak yang necis bersih dan rapi banget tipikal borjuis sekolahan gitu. Dia juga sederhanan banget kok. Tapi setelah beberapa lama naksir, dan denger info tentang dia sana sini—denger sana-sini sama cari tahu mungkin di sini beda tipis—ternyata dia anak orang kaya. Konon dia naik bus sampai simpang lima (pusat kota di Semarang) karena mobilnya di parkir di sana. Sekalian jemput adiknya yang sekolah di sana. Oh Tuhan sederhananya dia. Tak mau pamer mobil. Padahal temen-temen yang lain berlomba memamerkan mobil mereka. Dan crita cintaku mulai berlangsung. Di bus kota yang menuju arah barat. Yang searah dengan tujuannya.

Singkat cerita, kami sering bareng. Se-bus maksudnya. Aku gak punya cukup nyali untuk mendekatinya secara langsung sih. Paling sms doang. Sms aja sudah terbilang agresif sih menurutku. Sampai akhirnya kami hanya mengeluarkan sinyal-sinyal geje ala anak remaja yang saling suka. Percaya diri banget yah menyimpulkan dia suka sama aku. Tapi terbukti memang di akhir cerita cinta monyetku. Beberapa kali ketika dia turun dari bus duluan, sambil jalan, dia melihat ke arahku yang duduk dekat jendela sambil memberi senyum menawannya. Sederhana sih, tapi berkesan banget. Pernah juga dia nyolek kupingku yang duduk di depannya, lalu berhambur turun dari bus. Aduh apa sih main colak colek? Emang sini sabun apa?! Tapi tetep aja seneng banget sampai sempet melayang beberapa senti dari kursi penumpang. Walau cinta monyet itu cuman berlangsung tidak beberapa lama, karena aku balikan sama mantan. Dia kelamaan sih. Hehehe. Walhasil, kami hanya berhenti pada romantisme bus kota. Yang sederhana tapi mengesankan. Ah.. Bus kota.. Ah.. masa sekolah..

Jadi siapa lagi yang punya pengalaman dengan bus kota??

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Gara2 memakai kaos oblong dan sendal jepit si kernet bilang, "ongkosnya kurang kamu kan bukan mahasiswa". lalu kubilang, "sini kamu duduk aku yang jadi kernet saja". akhirnya dia mlengos dan kembali teriak2 cari penumpang. itu ceritamu(bagus) ini ceritaku :P