Kemarin lusa, di siang yang cukup
panas di kantor IBC, saya bertemu Tri Em. Akhirnya kami bertemu, setelah
sebelumnya hanya berkirim email dan saling mention atau DM di Twitter. Pertemuan
kami terbilang nyentrik. Begini. Ketika saya keluar dari ruang kerja hendak
mengambil minum, saya baru sadar kalau anak yang naskah bukunya sempat saya edit ini sedang duduk di depan rak buku
IBC. Kalau ingatan saya tidak salah, saat itu ia sedang duduk bersila ditemani
rokok dan tumpukan buku karyanya, Catatan
Mantan Playboy. Ternyata malamnya ia menginap di kantor IBC setelah pulang dari
acara Booklovers di Sewon Bantul.
Awalnya saya canggung. Tapi untunglah,
kegiatan mengambil air di dispenser dapat mengobati kecanggungan saya dengan
cepat. Hehe. Lalu saya menyapanya dengan sok akrab dan sok asik.
“Hei Tri Em! Akhirnya ketemu juga. Gimana
bukumu? Laris?”
Maafkan saya sungguh. Entah
karena canggung atau apa, saya bahkan lupa apa jawaban Tri Em atas sapaan saya
waktu itu. Hahaha! Memalukan sekali.
Pada hari itu, yang jelas saya
dan Em tak sempat ngobrol banyak. Sikonnya sedang tidak enak. Kantor sedang
padat, saya sedang mengerjakan naskah yang memusingkan kepala, dan jam satu saya
harus ke USD mrican untuk sekolah.
Hari berikutnya, kami bertemu
lagi. Di tempat yang sama, dan di cuaca yang sama pula. Panas. Kali ini kami
sempat ngobrol lama dan lumayan seru. Saya baru sadar bahwa bayangan saya
tentang Em sebelum dan sesudah kami bertemu sungguh berbeda. Dulu saya mengira
bahwa Em adalah anak laki-laki yang tinggi, kurus, berhidung mancung, dan cool. Penggambaran macam itu jelas cocok
sekali untuk seorang playboy. Tapi
ternyata, setelah kami bertemu 50% gambaran saya runtuh. Hahaha! Tunggu, jangan
salah paham dulu. Menurut saya dia manis, meski kurang cocok untuk image seorang playboy.
Siang itu kami asyik ngobrol berempat.
Saya, Em, Mbak Yayas (kepala editor IBC), ditemani celetukan-celetukan Mas
Bajang yang sedang sibuk memasak di dapur IBC. Em bercerita bagaimana perasaannya
ketika naskah Catatan Mantan Playboy-nya
saya corat coret tanpa ampun. Ia sempet mengatai saya galak, tentu saja dengan
gaya bicaranya yang lucu dan cadel. Saya berulang kali tertawa mendengar
ceritanya dan mengorek lebih dalam tentang pengalamannya menerbitkan buku di
IBC. Em siang itu, sungguh mirip dengan tokoh Candra Gunawan di Catatan Mantan Playboy. Jujur dan apa
adanya.
Mungkin saya tak sempat cerita
banyak padanya siang itu. Bagaimana proses editorial bukunya dari sudut pandang
saya. Jadi, untuk Em, simak ini baik-baik ya. Hehehe.
Halaman pertama naskah buku Em
sejujurnya telah berhasil menarik perhatian saya. Bagi yang pernah sekolah,
tentu akan tertarik dengan adegan-adegan awal di buku Em. Sambil mengingat masa
sekolah yang menyenangkan, saya kemudian mulai mengedit naskahnya. Awalnya, tak
banyak kesalahan saya temukan di naskahnya. Kalau pun ada kesalahan, biasanya
hanya typo atau pilihan kata yang kurang tepat. Tapi semakin banyak halaman
yang saya baca, semakin pening kepala saya dibuatnya. Ada begitu banyak kalimat
yang struktur, maksud, dan logikanya tak jelas. Kadang dalam satu paragraf, ada
beberapa kalimat yang entah dari mana asal-usulnya bisa menyempil tanpa rasa berdosa. Sebagai
editor yang baik, tentu saja saya tak tinggal diam. Saya memberinya begitu banyak
catatan, coretan, dan caci maki. (*eum, yang terakhir sepertinya agak lebay) Kadang saya menyarankan kalimat-kalimat
di naskahnya diganti seperti ini saja, atau seperti itu saja. Karena terlampau
banyak catatan dari saya dan revisi yang harus dibuat Em, kami jadi sering
berkorespondensi.
Meskipun saya sering uring-uringan
ketika mengedit naskahnya, saya bersyukur Tri Em merupakan salah satu penulis
muda yang ber-attitude baik. Ia tak
pernah keberatan dengan catatan merah, kritik pedas, dan saran editornya. Ia
selalu menerimanya, dan belajar memperbaikinya. Semua kerja keras dan ketekunan
Em dalam proses penerbitan bukunya terbayar sudah. Kini Catatan Mantan Playboy tidak saja menjadi buku yang menarik untuk
dibaca tetapi juga memiliki pesan mendalam untuk para pembacanya, khususnya
anak muda.
Pada akhirnya, meskipun penutup
saya akan terdengar klise. Tapi sungguh, percayalah, tak ada karya hebat tanpa
proses yang panjang nan berliku. Jadi kawan, alih-alih terburu nafsu mengejar
hasil yang maksimal, nikmatilah dan hargai setiap prosesnya. Bertekun dan
bekerja keraslah untuk dapat memperoleh hasil yang terbaik. Mungkin kalian bisa
mencontoh Em. J
Saya sudah cocok jadi motivator
belum? Hahaha! Salam sukses selalu.
1 komentar:
haha bagus,tengok blog sebelah yah http://kata-gw.blogspot.com/
Posting Komentar