Rasanya malu
sekali mengakui bahwa aku yang hampir 24 tahun ini gemar sekali menangis. Ya,
ya, sebut saja cengeng. Entah sejak
kapan aku mulai gemar sekali menangis. Mungkin sejak lahir, atau mungkin malah
sejak kuliah? Hahaha, sepertinya tidak.
Beberapa peristiwa
dengan tangis bombay masih jelas sekali tergambar di ingatan. Bahkan peristiwa-perstiwa
masa kecil. Seingatku, saat kecil banyak sekali hal yang bisa membuatku
menangis. Seringkali karena takut, dimarahin, atau tersudutkan. Ada beberapa peristiwa
kecengengan masa kecilku yang masih kuingat dengan jelas. Sebenarnya bukan
beberapa, tapi banyak. Hahaha.
Aku ingat betul,
ketika belum sekolah, aku sering sekali menangis ketika akan ditinggal mamahku
bekerja. Aku bahkan masih ingat rasa sedihnya saat mamah pamit pergi bekerja.
Seperti akan kehilangan lama sekali. Padahal siang atau sore, mamah pasti
pulang.
Aku juga sering
sekali menangis sesudah muntah. Sepertinya aku pernah cerita tentang kebiasaan
muntahku ketika masih kecil. Iya, dulu ketika kecil, aku sering sekali muntah. Bahkan
bisa beberapa kali dalam sehari. Entah karena kekenyangan, perjalanan jauh, tertawa
terbahak-bahak, menangis, baju basah karena keringat, dll. Dan sehabis muntah
biasanya aku menangis. Kadang karna dimarahin mamah. Tentu saja mamah marah
karena capek membersihkan muntahanku, baju, sprei, dll. Menangis karena malu,
karena takut. Pokoknya nangis saja.
Aku juga pernah
menangis karena berantem dengan teman. Tendang-tendangan dengan Nia (salah satu
kawan dekat di SD) di tangga, lalu aku hampir jatuh dari tangga. Mungkin karena
kaget dan takut, kemudian aku lari ke kelas, sambil menangis. Satu kelas geger.
Aku malu sekali. Tapi sayangnya, air mataku gak pernah malu keluar tanpa
berhenti. Kemudian, Nia datang menghampiriku ke kelas, dan minta maaf. Padahal
sebenarnya dia tidak salah.
Aku pernah
menangis sesudah aku memukul perut Ardi (teman main komplek rumah) ketika kami
berebut sepeda baru milik seorang kawan yang lain. Aku lari ke rumah sambil
menangis. Lalu Ardi dan kakakku menyusul. Ardi meminta maaf padaku. Aku sungguh
malu. Aku ingat betul, aku yang masih sesenggukan berkata,”kamu gak salah kok”
ketika Ardi mengulurkan tangannya. Tentu saja Ardi dan kakakku saat itu pasti
bingung. Kenapa aku menangis jika aku bahkan tidak merasa ‘disalahi’ dan malah
memukul perut Ardi duluan. Mungkin aku merasa bersalah atau khilaf, sudah
terlalu emosi dan memukul perut Ardi. Mungkin juga aku kaget kenapa tiba-tiba
aku memukul Ardi. Atau mungkin aku justru takut dimarahi atau balas dipukul.
Entahlah akupun bingung waktu itu.
Aku sering
menangis karena berantem dengan kakakku. Biasanya aku menangis karena marah dan
dongkol padanya.
Ketika remaja
pun aku masih gemar menangis. Tapi mungkin sedikit berbeda, karena sembunyi-sembunyi.
Jarang sekali aku menangis di depan orang lain, kecuali jika kami sangat dekat
atau punya hubungan khusus.
Pernah suatu kali,
ketika aku SMA dan sedang mengantar temanku pulang, mengalami kecelakaan. Tidak
ada luka yang parah pada kami. Cuman motornya saja yang jadi lumayan hancur.
Apesnya lagi, itu motor mamahku. Pertama yang terbayang di kepala, tentu saja
sosok mamahku yang akan marah besar mengetahui hal itu. Singkat cerita, entah
bagaimana juntrungannya, aku ditemani Batozaey. Dia adalah mantanku. Bisa
dibilang yang paling baik dan perhatian, bahkan hingga sekarang. Dia
mengantarkanku ke dealer dan menemaniku membetulkan motor. Tentu saja dia juga
yang menemaniku dan menghiburku ketika aku nangis sesenggukan di bengkel dan
juga di rumah. Entah berapa liter air mata yang kukeluarkan di hari itu. Malu
sekali aku. Sedih sekali.
Beberapa kali
aku juga menangis karena marah pada adikku. Tidak, kami tidak bertengkar. Aku
hanya jengkel pada sifat keras kepala dan cueknya pada pekerjaan rumah. Ketika
aku sudah marah, biasanya aku hanya menegurnya dengan mengatakan,”kamu nih gak
punya perasaan…”. Itu pun dengan intonasi yang sangat rendah. Tapi ya
begitulah, setelah balik kanan dan pergi ke kamar, biasanya aku lalu menangis
karena dongkol. Rasanya sakit sekali menahan emosi agar tidak meledak.
Belakangan, yang
baru, aku pernah, marah dan adu mulut dengan salah satu tukang pakir di salah
satu kampus swasta di Jogja. Setelah acara adu mulut, aku mengikuti ujian lisan
yang kemudian hasilnya tidak begitu bagus. Walhasil, perasaanku mendadak jadi
begitu buruk, sehingga kuputuskan bolos kuliah berikutnya. Aku lalu pulang dan
menangis sejadi-jadinya. Hari itu emosiku benar-benar dibuat sangat jelek. Dan
memang pulang, lalu menangis adalah hal yang paling kubutuhkan. Beberapa hari
sesudah kejadian itu, aku bahkan malas parkir di tempat yang sama. Sampai hari
ini, aku masih bête ketika melihat wajah tukang parkir itu. Duh, ingin sekali
punya hati yang legawa, agar bisa melupakan kejadian itu.
Kemarin, aku
mengalami insiden baru lagi yang membuat aku menangis sesenggukan. Insiden es jeruk. Tapi malas sekali
kuceritakan kronologisnya di sini. Yang jelas rasanya tidak enak. Antara marah,
takut, dongkol, sedih, semuanya jadi satu. Sampai saat ini, masih bisa kurasakan
emosiku waktu itu. Bisa saja aku nangis lagi jika dibahas. Syukurnya, saat itu
aku punya kamu yang rela membiarkan kaos dan celanamu basah karena air mataku.
Memberikan kalimat-kalimat lucu dan beberapa kali mengejek sehingga aku justru
tertawa dan merasa lebih baik.
Seringkali aku
menangis karena marah, dongkol, sakit, dan mendengar kata-kata kasar atau
menjatuhkan. Malu dan sedih rasanya menyadari bahwa aku teramat mudah
mengeluarkan air mata, bahkan untuk hal-hal sepele. Sudah berkali-kali kucoba
untuk tidak mudah menangis, tapi rasanya nyeri sekali jika kutahan. Sebenarnya
aku juga takut akan melukai orang lain jika
emosiku tidak kutahan. Jadi biasanya aku memilih menahannya, dan lalu menangis.
Tapi justru dengan menangis aku bisa merasa lega tanpa harus melukai siapapun. Meskipun
demikian, aku sering berpikir bahwa ada yang salah dengan diriku karena gemar
menangis. Mungkin ini penyakit. Atau mungkin ini kelainan. Namun, walaupun
cengeng, aku tidak suka dibilang lemah. Sebab menangis tidak selalu tentang
perkara lemah dan tidak berdaya, tapi lebih pada perkara menahan lalu meluapkan
emosi. Apalagi mengingat aku jarang menangis di depan orang lain, kecuali
orang-orang terdekat. Kalaupun disuruh memilih, aku lebih memilih jadi wanita
yang gemar menangis daripada yang gemar menyakiti orang lain. Hidup itu pilihan
kan? Hahaha *alesaaaaaann
PS: Sekarang aku
justru bersyukur karena kegemaranku itu. Sebab kita yang sangat berbeda (bisa
jadi) dipertemukan untuk (bisa jadi) saling melengkapi. Iya, kamu yang seumur
hidup hampir tidak pernah menangis. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar