Sukses
Terbesar dalam Hidupku
Mungkin bukan
hal yang mudah bagi saya berbicara atau berbagi tentang kesuksesan—apalagi yang terbesar dalam hidup—di usia saya sekarang ini. Namun rasanya kata
sukses tidaklah sebegitu agung. Teringat ibu saya yang pernah berkata bahwa,
sukses adalah ketika kita bisa atau berhasil mencapai dan memperoleh apa yang
kita inginkan, dan berbahagia karenanya. Dan sejak saya setuju pendapat beliau tentang
apa itu sukses, kesuksesan mulai datang satu demi satu ke dalam kehidupan saya.
Saya masih ingat
benar, bagaimana sukses-sukses kecil itu muncul dalam hidup saya. Kesuksesan
pertama saya adalah ketika saya akhirnya dapat memainkan gitar ketika masih duduk
di kelas 6 SD. Waktu itu, karena seorang teman, saya begitu ingin bisa bermain
gitar. Ibu kemudian dengan senang hati membelikannya untuk kami—aku dan
kakakku—yang kemudian menjadi salah satu instrumen musik yang bisa saya mainkan
dengan baik. Saya merasa sukses pada akhirnya bisa memainkan gitar tanpa harus
berguru atau mengikuti kursus. Terlebih lagi, ketika hanya saya dan satu kawan
saya (yang menginspirasi bermain gitar) yang menggunakan alat musik gitar
ketika ujian praktek mata pelajaran musik. Bisa dibilang ini adalah kesuksesan
pertama saya.
Kesuksesan yang muncul
berikutnya mungkin lebih besar, namun pastinya belum yang terbesar. Dan tentu
saja diperoleh dari usaha yang tidak mudah. Saya harus belajar dengan tekun
untuk pada akhirnya bisa lulus SD dengan predikat lima terbaik, dan diterima di
SMP Negeri terbaik se-Jateng di Semarang. Saya harus bisa beradaptasi dengan suasana
sekolah negeri yang benar-benar berbeda dari sekolah swasta Katolik. Yang
paling berat, saya harus rela menerima beberapa teman yang belum bisa
menghargai dan bertoleransi dengan teman lain yang berbeda agama. Mesti bukan
hal yang mudah, namun saya berhasil beradaptasi dengan baik dan memiliki banyak teman.
Hingga saat ini
pun saya masih merasa bahwa masa SMP adalah masa yang paling menantang dan
emosional. Banyak hal baru yang saya dapat dan pelajari. Ketika SMP pula saya
mulai mengenal realitas keberagaman yang tidak saya dapat ketika TK maupun SD. Tidaklah
mudah menjadi kaum minoritas di tengah-tengah keberagaman, terutama keberagaman
agama, tapi saya beruntung karena justru dari situlah saya bisa banyak belajar.
Belajar bagaimana menghargai perbedaan dan mensyukuri keberagaman yang ada. Tentu
saja, tanpa keberagaman hidup kita akan terasa sangat membosankan.
Setelah semua pengalaman
yang saya alami ketika SMP, seharusnya tidaklah susah untuk menyesuaikan diri
di SMA. Namun kenyataannya justru berbeda. Tahun-tahun pertama SMA adalah mimpi
buruk. Saya benci harus pergi ke sekolah yang sebenarnya tidak benar-benar saya
inginkan. Sebab saya tidak diterima di SMA favorit yang saya harapkan. Meskipun
SMA saya masih terbilang favorit, tapi didanding SMA pilihan pertama saya, SMA
saya ini tampak tak begitu menarik. Ditambah kebanyakan teman SMP yang diterima
di SMA pilihan pertama saya. Saya merasa sedih, kecewa, dan kesepian.
Tapi saya
percaya bahwa semua hal butuh waktu, termasuk saya. Saya hanya butuh waktu
untuk menyesuaikan diri, mengikhlaskan kehilangan dan kekecewaan untuk kemudian
menghadapinya. Benar saja, meskipun cukup lama, pada akhirnya saya bisa menikmati
sekolah saya yang baru. Menjalani masa SMA yang orang bilang masa-masa yang
paling indah dan menyenangkan. Dan saya jatuh cinta pada sekolah saya. Saya
jatuh cinta pada gedung sekolah saya yang kecil dan kawan-kawan SMA saya yang
penuh kejutan. Saya begitu menikmati masa tiga tahun di SMA untuk mempelajari
banyak hal. Tidak hanya hal akademis, tapi juga non akademis: persahabatan dan
“cinta monyet”.
Berhasil
diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia adalah kesuksesan kecil
yang menutup romantisme SMA saya. Tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya
kami—saya dan orang tua—ketika pada akhirnya saya resmi menjadi mahasiswi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Apalagi ketika saya berhasil menyelesaikan
kuliah saya di Filsafat UGM empat tahun sesudahnya dengan predikat sangat
memuaskan. Mimpi saya yang satu per satu menjadi nyata adalah salah satu bukti nyata
bahwa selalu ada sukses bagi mereka yang mau berusaha.
Meskipun
demikian, belum ada kesuksesan terbesar, karena hidup terus berlanjut. Kesuksesan
yang lebih besar akan selalu ada lagi, lagi, dan lagi. Atau bisa saja, beasiswa
ini akan menjadi sukses besar berikutnya
dalam hidup saya. Namun, seperti kata
Albert Einstein, “Try not to become a man success, but try to become a man of value”,
saya berusaha untuk menjadi manusia yang bernilai bagi sesama, bangsa dan
negara, ketimbang sekedar manusia yang sukses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar