Sabtu, 28 Agustus 2010

Fiksi mini- Sebuah cerita pendek yang menyesakkan


Aku adalah anak tunggal. Usiaku sekarang 20 tahun. Dan hari ini aku sedang tidak puasa. Aku memang hampir tak pernah berpuasa. Untuk apa sih puasa? Aku bingung dan tak acuh. Maka, merokoklah aku, makanlah aku, minumlah aku, di saat semua menahan hawa untuknya. Kadang, ketika kawanku bertanya,”kok kamu gak puasa sih?” aku selalu menjawabnya dengan gurauan, dan sesekali aku bilang bahwa Tuhan Maha Pengampun dan Penyayang. Jadi, Dia pasti mengampuniku yang seringkali tak puasa. Hahaha.
“hei, makan yuk..” seorang kawanku yang noni (non Islam) mengajakku makan. Dia tahu kalau aku tak pernah berpuasa.
“hayuk hayuk..” aku bersemangat, sedari pagi aku belum makan.
            Lalu berjalanlah kami menuju salah satu kafetaria pinggir jalan. Temanku ini suka geli melihatku yang tak puasa, tapi dia juga setia mengajakku makan. Nahlo! Yang aku heran, dia yang Nasrani justru terkadang ikut berpuasa. Entah apa alasannya. “Pengan aja..”, katanya.
            Kami memesan makanan. Pesanannya sudah datang, pesananku belum. Dia mulai makan. Dan mulai menanyaiku beberapa pertanyaan.
“mamahmu tahu gak kalau kamu gak puasa?”
“tahu lah..”
“terus gimana?”
“ya gak gimana-gimana, didiemin aja”
“kalau sahur, gak dibangunin?”
“gak kok. Waktu lebaran aja, aku dan ibuku pergi sendiri-sendiri. Punya acara sendiri-sendiri.”
            Kawanku itu cukup kaget dengan ceritaku, tapi juga geli. Mengetahui bahwa ibuku kelewat cuek terhadapku. Bahwa aku seperti tidak dianggap. Bahwa rumah bagiku, sudah seperti kos-kosan. Kalau aku tak pulang beberapa hari pun, aku tak dicarinya. Dan pertanyaan tadi itu merupakan pembuka untuk sebuah cerita menyesakkan dan pengakuanku, di hadapan kawanku ini.
            Aku mulai bercerita pada kawanku. Bahwa aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ibuku gila kerja. Berangkat setengah tujuh, dan pulang pukul lima sore. Dan cukup jarang ada di rumah. Aku tak pernah ngobrol berdua dengan ibuku. Ibuku tak memedulikanku. Jika saudaraku menginap di rumah, jadilah, bahwa aku dianak tirikan. Semakin tak dianggap, semakin tak dipedulikan. Pernah suatu kali aku malah meminta saudaraku untuk tidak terlalu lama tinggal bersama kami (aku dan ibu), karena aku muak. Aku muak diperlakukan seperti anak tiri dan tak diacuhkan sama sekali. Karena saudaraku akan diperhatikan sundul langit, dibelikan ini itu, dipenuhi kebutuhannya, dibeginikan, dibegitukan. Aku yang anaknya saja, tak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Pernah suatu kali, teman sekolahku dibelikan pakaian dalam oleh ibuku. Aku heran bukan kepalang. Aku yang butuh pakaian dalam pun tak dibelikannya. Menyakitkan.
Aku pun sekarang heran. Karena aku berani menelanjangi keadaan keluargaku di depan kawanku. Dia berkali-kali mengernyitkan dahi, melotot, geleng-geleng, tersenyum getir, dan sedikit tertawa. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin dia iba terhadapku.
“Sewaktu sekolah, ibuku tak pernah mengambil raporku. Menemaniku mendaftar sekolah pun tidak. Aku seringkali mendaftar sekolah ditemani oleh abangku, saudara dari ibuku.”
“hah? Kok gitu? Trus yang ngambil rapormu siapa dong?”
“ya aku! Tiap guruku berniat tidak ingin memberikan rapor itu kepadaku, aku selalu bilang bahwa rapor tak penting buatku, mau diberikan atau tidak, aku tak rugi, aku masih bisa sekolah. Tapi, setiap tahun, toh guruku tetap memberikan raporku, walau aku harus menunggu sampai semua orang tua kawan-kawanku pulang.”
“ya ampuun, hebat yah kamu.. Mandiri banget. Tegar banget. aku gatau gimana jadinya kalau aku jadi kamu. Mungkin aku bakal nakal banget. Aku bakal rusak. Aku gak tahu bakal jadi apa dan bagaimana hidupku.”
Aku hanya tersenyum. Aku tidak sebaik itu kawan. Aku pun punya sisi-sisi kehidupan yang kelam dan nakal.
“tahu gak kamu? Dulu, suatu kali, ibuku pernah menyuruhku masuk pesantren. Tapi aku mengancamnya. Jika ibuku benar-benar memasukkanku ke pesantren, maka dia akan menemukanku tergantung di pintu esok harinya. Hahaha. Lalu ibuku mengurungkan niatnya memasukkanku ke pesantren. Aku benci pesantren. Paling ibuku punya rencana begitu karena dia ingin lepas tangan dariku saja.”
Kawanku diam. Dia mungkin bingung harus berkata apa-apa. Walau sesekali meyakinkanku, bahwa ibuku tak seburuk itu. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia simpatik, dia mungkin juga terenyuh, atau entahlah. Sepertinya begitu. Kadang dia tak berani menatapku dalam-dalam, dan lebih memilih menyantap makanannya atau meminum jus mangganya.
“aku boleh tanya sesuatu gak?” Tanya temanku, di sela-sela menikmati makan siangnya.
“boleh, apa?”
“papahmu dimana?”
“papahku sudah meninggal dari aku TK. Itu yang dulu aku bilang ke kamu kan? Maaf yah aku bohong. Sebenernya papahku tuh gila.”
“hah?”
Kulihat wajah kawanku begitu kaget.
“trus, sekarang masih ada atau uda meninggal?”
“papahku masih ada, cuman uda gak di sini. Dia di Kalimantan.”
            Kawanku mulai menjejaliku dengan banyak pertanyaan. Dan kembalilah aku bercerita. Bapakku, gila sejak aku TK. Aku juga bingung bagaimana cerita persisnya. Tapi, yang kutahu, Bapakku gila karena sebuah ilmu aneh. Semacam klenik begitulah. Dan sedikit cerita. Bahwa bapakku itu tak mau kerja sejak menikah dengan ibuku. Ibuku bekerja seorang diri. Dan sudah banyak uang yang dikeluarkan untuk menyembuhkan bapakku. Tapi hasilnya nihil. Dia tetap gila. Entah bagaimana kabarnya sekarang.
Dan sepertinya itulah penyebab sikap ibuku yang tak acuh terhadapku. Tapi itupun hanya anggapanku saja. Aku masih tak mengerti. Aku masih tetap kesepian. Aku masih haus kasih sayang. Rasanya tak ada bedanya dengan anak yatim piatu. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur, karena hidupku berkecukupan. Dan aku punya teman-teman yang baik, aku punya pacar yang begitu kucintai dan mencintaiku. Aku bahagia pacarku mengenalkanku dengan keluarganya. Dan aku merasa punya keluarga baru sekarang. Di sana aku memeroleh kasih sayang yang selama ini tidak pernah aku rasakan. Aku menangis. Walau bukan di depan kawanku. Atau mungkin kami sama-sama menangis. Hati kami menangis. Tapi aku laki-laki yang harus tetap kuat.
Hanya beberapa orang yang tahu ceritaku ini. Termasuk kawanku yang satu ini. Kawanku pun punya ceritanya sendiri. Ceritanya tentang keluarganya. Dia  yang berasal dari keluarga broken home. Tapi menurutku, dia tak nampak seperti keluaran sekolah keluarga broken. Hahaha. Dia hangat dan ekspresif. Dia tetap mendengarkan ceritaku dengan tenang dan menyimak dengan sungguh. Simpatik bukan main. Aku tahu dia iba. Tapi aku tak mau dikasihani. Ceritaku yang menyesakkan, biarlah buat aku saja. Biarlah tetap membentukku untuk menjadi pribadi yang dibentuk lebih kuat dan lebih dewasa lagi.

Tidak ada komentar: