Rabu, 05 Agustus 2009

ingatanku, tentangmu, dan kita

Aku tak tahu persis berapa lama aku mengenalmu, atau sebaliknya. Yang jelas, ingatan ini kuupayakan agar menjadi kenangan yang manis. Buatku. Semoga juga buatmu. Maka, ingin kuabadikan di sini, di tempat dimana aku, kamu, dan entah siapa bisa membacanya. Mungkin juga, sedikit berkomentar. Dan aku berharap, jauh setelah semua ingatanku terjadi, dan ketika ingatan ini mulai terganti, aku bisa tersenyum membacanya, mengenang semuanya. Pun kamu. Semoga. Maka beginilah, aku menulisnya,” ingatanku, tentangmu, dan kita”.

Pertama, hal yang mempertemukan kita, dimana kita saling tahu nama masing-masing. [Padahal sebenarnya aku sudah tahu namamu]. Pada sebuah acara mapala. Kau seniorku, sangat jauh. Hehehe. Waktu itu aku sedang rebah karena sakit, lalu kau datang, dan kita berkenalan. Kau mulai menghiburku yang waktu itu benar-benar dalam keadaan yang sangat menyedihkan.[aku malu mengingatnya]. Lalu dengan penuh perhatian dan kasih sayang, kau mulai membelai rambutku, merapikannya, atau entahlah, yang jelas kau menyentuh kepalaku. Lalu memegang tanganku dan sesekali mengusap-usapnya. Aku hanya bisa membatin, “baik sekali laki-laki yang baru saja kukenal ini”. Lalu, dengan seorang gadis yang juga seniorku kau memapahku. Sangat bersimpati aku terhadapmu. Jelas.

Dan saat itu berlalu, kita masih biasa, hanya sebatas mengetahui nama tanpa bertegur sapa. Lalu sebuah jejaring sosial dalam internet mempertemukan kita. Kita saling sapa dan memberi semangat. Dan mulai saling melempar senyum saat bertemu.

Dan pada suatu latihan mapala, aku datang sangat terlambat. Kau ada di situ. Kau sudah tidak terlalu aktif dan memegang peran. Memakai celana jins pendek dan kaos berwarna hijau. Kita hanya bertemu pandang, sesekali. Aku sedikit malu, entah karna apa. Kau banyak diam dan sedikit bersikap. Lalu saat aku masuk sekre, dimana ada kamu, yang seingatku saat itu kau sedang mengerjakan sebuah hasta karya [itu keahlianmu], kau mulai berbasa-basi [sedikit menggodaku menurutku], walau tanpa melihat wajahku dan masih [sok] sibuk dengan aktivitasmu. Dan baru kusadari, ternyata kau orang yang cukup pemalu.

Kita mulai sering saling berkomen di jejaring sosial itu, saling memuji, bercanda, kadang bercerita. Kita mulai dekat. Dan ketika bertemu di kampus, kau menyapaku dengan riang [sangat khas] dan tersenyum dengan sedikit tawa [sangat khas juga]. Aku sering geli sendiri melihat tingkahmu yang sangat renyah dan menyenangkan. Kau menarik. Itu kesanku selanjutnya.

Kita memiliki kegemaran yang sama. Bermusik. Kau sering memujiku. Pun aku. Selain mapala, kau juga senior jauhku di sebuah komunitas musik di kampus. Aku salah satu anggota. Dan sebenarnya, di komunitas musik itulah aku lebih dulu mengenalmu. Mengetahui namamu. Sebenarnya kita sudah sering bertemu. Tapi kau sedikit tak acuh dan angker waktu itu. Hahaha. Kesan paling awalku padamu. Tapi terbukti kan? Ternyata kau tak seperti itu.

Aku melihat performancemu, dan aku mengaguminya. Kadang kau juga memuji performanceku, seringkali berlebihan. Hahaha. Kau kukenal sebagai bassis berkacamata hitam. Dan waktu kutanya, mengapa kaca mata hitam? Sudah kutebak dari awal bahwa jawabnya, karna kau orang yang pemalu. Itu yang menarik. Lagi darimu.

Suatu hari, komunitas musik di kampus kita membuat acara yang rutin dilakukan setiap dua minggu sekali, dan selalu di hari minggu. Kau mengajakku untuk datang. Aku tak janji. Tapi, akhirnya aku datang, dengan debaran-debaran aneh ketika bertatapan denganmu, dan sedkit salah tingkah. Kita sama-sama tersenyum. Malu dan senang. Kau dan satu temanmu maju untuk performance. Debaranku bertambah cepat dan semakin kuat. Ketika kau mainkan intro, aku berhenti bernafas beberapa detik. Aku tahu persis lagu yang kau mainkan. Dan kau tahu persis itu lagu kesukaanku. Kau pernah bilang ingin menyanyikannya untukku. Tapi, ketika intro selesai dan masuk pada liriknya, ternyata temanmu yang menyanyi. Dan dia menyanyi sangat buruk. Tak hapal lirik dan diseret-seret. Aku sangat kecewa. Kau juga. Kau sepertinya sangat malu, karena performance waktu itu buruk. Dan tentu saja, kau tak enak padaku. Tapi, trims ya! Kau manis walaupun sangat pemalu untuk menyanyikannya sendiri.

Lalu kita semakin dekat dan dekat dalam jejaring sosial itu. Anehnya, kau jadi berbeda, aku juga. Kita menjadi sangat pemalu jika bertemu. Salah tingkah, tak lagi punya keberanian untuk menyapa. Hanya diam, jika sedikit berani, tersenyum. Terus berlanjut seperti itu. Lalu kau mengenal sahabatku. Dan seringkali saling berkirim pesan dengannya. Dan yang lucu, [kini aku sudah tahu] kau sering menanyakan aku ataupun tentangku lewat sahabatku. Kalian membicarakanku di belakang. Aku selalu tertawa geli jika mengingatnya.

Sampai pada suatu saat, kita sama-sama menyadari keanehan di antara kita. Sensasi yang berbeda. Perasaan yang aneh. Tapi dengan masa bodoh, menepisnya. Ahh! Sepertinya tidak mungkin. Itu yang aku dan [mungkin] kau rasakan. Aku mulai sering menerka-menerka, mencari-cari, dan yang sangat memalukan, merindukanmu. Apa aku jatuh cinta waktu itu? Tak tahu. Dan ketika aku merasa mulai ada yang tidak beres dan takut dengan anganku sendiri, aku menarik diri. Dan mulai tidak aktif di jejaring sosial yang mempertemukan kita. Tapi itu bukan akhir. Kau tahu nomor ponselku. Sial! [tapi aku bohong, jika aku bilang tak senang dengan kenyataan itu]. Kita mulai sering berkirim pesan. Dan begitu banyak yang kita perbincangkan. Seringkali tak begitu penting. Tapi aku sangat menikmatinya.

Semakin dekat dan dekat. Perhatian-perhatian kecil mulai kau berikan. Manis. Dan kau berani mengajakku pergi berdua!

Yang kuingat, pertama kali kau datang ke kosanku, kau membawa sebuah es krim strawberry dan sebuah jus strawberry. Itu memang kesukaanku. Aku sangat tersentuh. Kau kaget waktu aku bisa menghabiskan semuanya dalam waktu singkat. Itu kesukaanku tahu! Kau berkali-kali mengusap-usap kepalamu, membuat rambutmu jadi berantakan, kau terus bergerak-gerak dan tak bisa diam. Kau berkali-kali bilang, “aku grogi”, dan aku hanya tertawa melihat tingkah polahmu yang sangat jujur. Aku menyukainya. Sangat. Entah kenapa, aku lebih santai saat itu. Mungkin karna hanya berdua, dan karna kita bertemu langsung. Aku tidak sependiam yang kau kira kan? Hehehe. [Semua orang selalu mengira aku pendiam dan cuek di awal.] Sejak saat itu kita semakin dekat saja. Aku menyukaimu. Banyak hal manis yang kau lakukan. Dan yang paling manis saat itu, saat aku sedang akan membuat tugas paper. Tapi aku menunggu sahabatku mengantarkan flashdiskku. Karena separo tugasnya ada di situ. Aku berharap, dan harapan yang bodoh menurutku, kau akan mengantarkan sahabatku itu ke kosanku, dan aku akan bertemu denganmu. Tapi ternyata tidak. Sedikit kecewa. Karena entahlah, saat itu aku benar-benar berharap bertemu denganmu. Rindu. Lalu aku mengerjakan tugas paperku. Sambil kuselingi dengan berkirim pesan denganmu. Tiba-tiba kau bertanya,

apa kau mau jus strawberry untuk menemanimu mengerjakan tugas?”

mau, mau, mau banget!”, dengan sigap kubalas pesanmu, yang kukira hanya bercanda.

Lalu kau balas lagi dengan kesigapan yang tak kalah,

kalau begitu turun! Ada delivery mengantarkan jus strawberry untukmu.”

Dengan berdebar aku keluar kamar, kutinggalkan tugasku sejenak, menuruni tiap anak tangga dengan perasaan yang… sangat sangat mengasyikkan. Seperti gadis kecil yang akan mendapat sebuah kado boneka Barbie. Aku menemuimu. Kau masih di atas motor, memegang kantong plastik berisi jus strawberry, sembari mengangkatnya dan tersenyum. Aku bahagia sekali. Sungguh! Eh! Hujan waktu itu. Dan kau masih di luar, di atas motor, dan ingin pamit karena sudah malam. Aku mengajakmu untuk masuk dan menunggu hujan reda. Tapi kau menolak, dengan alasan tak enak karna sudah malam, lagipula hujan tidak terlalu deras. Dan aku menyerah. Kita berpisah dengan perasaan yang benar-benar membuncah, padaku. Mungkin, dan semoga kau juga. Hehehe. Aku menaiki anak tangga, menuju ke kamar, dengan raut wajah paling bahagia sedunia, tak bisa kusembunyikan. Aku tak henti-hentinya tersenyum. Sambil meneguk jus strawberry pemberianmu, sambil mengerjakan kembali tugas paperku. Kau manis. Sangat manis. Itu kenyataan.

Aku jatuh cinta padamu. Tapi tak berani kuakui. Aku takut bahwa hanya aku yang merasakannya. Padahal sikapmu menunjukkannya. Sebenarnya, aku takut terlalu berharap, apalagi jarak kita sangat jauh. Ditambah pengalamanku yang baru saja patah hati. Karna itu, karna terlalu berharap pada seseorang. Dan aku takut itu terulang lagi. Berkali-kali sahabatku meyakinkanku tentangmu, tentang perasaanmu padaku. [banyak hal lho! Yang sahabatku ceritakan tentangmu! Hahaha, tapi kau tak tahu kan??]. malah seringkali, sahabatku itu bertanya, bagaimana jika kau menembakku. Aku hanya tertawa, malu, kadang menjawab dengan penuh keyakinan, kadang tak ingin membahasnya, dan mengalihkan pembicaraan. Aku benar-benar takut berharap. Ditambah banyak pertimbangan juga. Tapi jujur, aku menginginkanmu.

Suatu hari, untuk kesekian kalinya kau mengajakku keluar. Seperti biasa, makan berdua, mengobrol, bercanda. Aku sering malu dan salting saat kita bertemu pandang. Sampai suatu ketika, kau menyentuh rambutku,emm poniku, dan berkata,”ponimu udah panjang yah...” [karna aku pernah cerita padamu bahwa seorang tukang salon salah memotong poniku, terlalu pendek dan sangat aneh.] aku benar-benar mati gaya waktu itu, dan lidahku mendadak kaku. Lalu hanya kujawab sekenanya,”eh, emm.. iya. Yaiyalah”. Kau tersenyum. Aku langsung menundukkan kepala, malu sekali. Kau lelaki yang sangat lucu dan menyenangkan, kesanku selanjutnya.

Kita sering pergi berdua, saling berkirim pesan, kembali saling berkomen dalam internet, sering bertemu di kampus [ini aneh karna kau sebenarnya sedang cuti kuliah, tapi kini kutahu alasannya. ahahah]. Dan kau mulai sering berlarian dan bermain-main di pikiranku.[ kau kurang kerjaan yah?] Kurasa dan kupikir, aku jatuh cinta. Padamu.

Suatu malam, kita pergi berdua lagi untuk makan. Setelah makan, kau mengajakku untuk minum wedang ronde di sebuah tempat di dekat gerbang kampus universitasku. Kau belum ingin memulangkanku, katamu polos. Lalu kita mulai mengobrol. Kali ini lebih banyak dari biasanya. Tiba-tiba kau memegang tanganku. Aku menariknya dan bertanya apa maksudnya. Tapi kau memegang tanganku lagi dan mulai berbicara. Oh tidak! Sepertinya akan terjadi sesuatu, pikirku. Dan benar, kau bicara panjang lebar, bertele-tele. Aku tahu apa maksudmu. Tapi aku menunggu, menunggumu memperjelas semuanya. Dan akhirnya, begitulah yang terjadi. Kau memperjelas apa yang kau rasa. Aku memperjelas apa yang kurasa. Aku bahagia. Kau memelukku. Kita berstatus pacaran setelahnya. Hihihihi.

Tak ada yang lebih manis dari orang yang sedang jatuh cinta. Setuju?? Aku sangat setuju! Dan begitulah kita waktu itu. Sudah berani dan terang-terangan berkata manis, memberi perhatian, menyentuh, dan menyapa dengan sayang. Indahnya…. Saling merindukan dan bilang kangen saat berpisah cukup lama dan cukup jauh. Saling memuji dan membelai dengan penuh cinta.

Kau mulai sibuk dengan kewirausahaanmu. Dengan pameranmu bersama teman-teman kampus juga. Seringkali aku menemanimu menjaga stan. Tapi tak bisa setiap hari, karena aku masih ujian.

Malam minggu. Aku di kosan yang sepi. Anak-anak kos sedang keluar menikmati malam minggu mereka. Aku di kamar dan belajar untuk ujian semesterku hari senin. Lalu, kau, masih dengan pameranmu. Pesanku yang berkata kesepian dan ingin ke pameranmu tidak kau balas. Aku sedih. Kuputuskan untuk menemuimu di sana. Sendirian. Tapi aku takut kau akan mengabaikanku jika pengunjung banyak. Aku mengajak sahabatku untuk menemaniku. Tapi ternyata dia ada acara, dan aku sudah terlanjur keluar. Aku bingung dan memberanikan diri. Akhirnya kuputuskan untuk berangkat sendiri, dengan membeli satu kotak martabak telor special untukmu. Dalam sebuah alat transportasi umum aku berkali-kali berkirim pesan pada sahabatku, aku bilang aku takut, grogi, dan deg-degkan setengah mati. Tapi dia slalu meyakinkanku, bahwa kau akan senang jika aku datang. Setiba di pameran, aku duduk di bangku depan stanmu dengan napas sedikit terengah karena perjalanan yang sangat lama, jalan yang sangat macet. Maklum. Malam minggu. Dan tentu saja dengan debaran yang bertambah keras. Aku memandangmu yang sedang sibuk meladeni pengunjung yang cukup ramai. Maklum. Malam minggu. Hehehe. Aku masih duduk di bangku depan stanmu, dan masih memandangmu. Sampai kau akhirnya terkejut karena menyadari aku tiba-tiba sudah berada di depanmu. Kau lalu mengabaikan pengunjung dan segera menghampiriku, dengan senyum yang sangat manis, dan menenangkan. Memelukku dengan gemas, aku lega, sangat lega dan bahagia. Kau terlihat sangat terkejut, tapi juga sangat senang. Ya ampuunnn… betapa dada dan perasaanku mengembang saking bahagianya melihat ekspresimu saat itu. Dan sedetik kemudian kuberikan sekotak martabak telor spesial itu padamu. Wajahmu tak berubah, malah bertambah menyenangkan dan gemas. Kau berkali-kali bilang makasi dan kaget, bilang aku baik, manis, dan kau menyayangiku. Astaga Tuhan! Dia menyayangiku! Aku juga Tuhan! Kau terus-terusan mengusap-usap wajah dan kepalaku, membelai rambutku dan memelukku dengan gemas. Hmmm… aku menyayangimu sayang. Sungguh.

Cintaku bertambah, terus bertambah terhadapmu. Kau penuh kasih. Kau seringkali menemaniku berlatih mapala, menemaniku rapat semalaman, mengantarkanku pulang, menungguku pulang dari kota dan tempat yang berbeda dan cukup jauh, mengajakku pergi, berkata rindu dan sangat rindu, membelai dan membenahi rambutku, mencium pipiku dengan gemas, menggandeng tanganku, membuat lelucon-lelucon yang slalu bisa membuat marah dan beteku reda dan malah tergantikan dengan tawaku. Kau tak pernah marah. Kau sabar.

Waktu berselang, aku menyadari bahwa kau perokok berat, dan aku sangat keberatan dengan itu. Di depanku kau tak merokok. Entah tak enak, atau tak berani. Ya! Aku memang tak tahan asap rokok, tapi terlepas dari itu, aku tak tega melihatmu merokok, menghancurkan tubuhmu sendiri dengan hal yang jelas-jelas akan membuatmu tak sehat dan sakit. Aku sedih sayang. Tahukah kamu? Aku memang sering marah. Dan kau masih menjadi pecandu rokok berat, yang sering kulihat sakau ketika bersamaku. Aku mulai sedih dan sangat sedih. Pernah kau berniat berhenti dan meminta bantuanku. Tahukah kau? aku sangat senang mengetahuinya. Tapi ternyata itu tak bertahan lama. Kau tidak konsisten dengan janji dan perkataanmu. Aku menyerah sayang, dengan berat hati. Aku tak bisa memaksamu. Niat harus berasal dari diri sendiri.

Terus, dan semakin kemari, tiba-tiba aku menjadi takut. Dan aku mencintaimu dengan ketakutanku. Ketakutan yang kubuat-buat sendiri. Karena kau seringkali tidak peka, lupa janji, tidak sensitive, dan tidak care. Aku mencoba bersabar. Dan kuganti kalimatku. Aku mencintaimu dengan penuh kesabaran. Karna yang kutakutkan nyaris terjadi, kau mulai menunjukkan hal-hal yang kutakutkan. Meskipun tak sepenuhnya.

Dan ketakutanku cukup membuatku tersiksa. Aku mulai malas berkirim pesan denganmu. Aku sering sedih dan bad mood. Aku sering merasa bosan hidup dan malas melakukan apa-apa. Dan kau masih saja tak peka, tak sensitive dan tak care. Kau seringkali mengabaikanku. Sibuk dengan dirimu sendiri, urusanmu sendiri. Dari pesan singkatmu, terbaca bahwa kau hanya berkirim pesan untuk formalitas dan karna status kita yang berpacaran. Aku mulai marah dan tak mau membalas pesanmu. Apa kau sibuk? Apa kau banyak pikiran? Apa aku salah? Jika ya, kenapa kau mengabaikanku dan tak bercerita? Kenapa kau simpan sendiri? Bukankah kita harus saling berbagi? Bukankah kau pernah bilang begitu?

Dan semakin kudiamkan, kau semakin tak acuh. Seolah kau merasa tak ada yang salah dan semua baik-baik saja. Sebegitu tak sensitifkah kau sayang? Sampai aku merasa aku yang salah dan egois, lalu aku meminta maaf. Tapi anehnya, perasaanku tak menjadi lebih baik, malah bertambah buruk. Ketakutanku semakin menjadi, dan aku sangat kecewa terhadapmu. Berhari-hari aku berpikir, menangis, karena aku terlalu mencintaimu, dan hal yang paling menyakitkan adalah terlalu mencintai orang yang cintanya tak sebesar cinta kita. Dan itulah yang kurasakan saat itu. Yang membuatku memutuskan suatu hal yang sangat mengagetkan dan mungkin juga menyakitkan.

Sehari sebelum ulang tahunmu. Aku telah mengambil keputusan untuk menyudahinya. Hubungan kita. Hubungan yang belakangan membuat tissue gulungku habis dan dadaku sesak. Hari itu, aku membungkus kado untukmu, yang berisi sweater pilihan mamaku dan 27 batang cinta berbentuk rokok dengan kertas kado bermotif strawberry pilihan sahabatku. Rasanya sakit sayang. Membungkus kado untuk calon mantan kekasihku, mungkin sudah mantan malah. Lalu esoknya, tepat di hari ultahmu, aku meletakkan kadomu di sekre mapala, tempat kita [seingatku] pertama kali berbicara. Lalu aku bertemu salah satu temanmu dan kutitipkan kado itu padanya. Aku pergi dengan lega, karena tugas terakhirku sudah selesai.

Siangnya, tiba-tiba kau datang ke kosku dan kita bertemu, kau memakai sweater yang kuberikan. Pas sekali! Dan kau terlihat sangat tampan memakainya. Thank’s God, ternyata ukuran dan pilihan mama pas. Ini yang kutakutkan, dan benar saja, sekejap setelah melihatmu, aku berubah pikiran. Dalam hati aku berkata, “Tuhan, aku mencintainya, aku tak bisa berpisah dengannya.” Tapi aku masih marah terhadapmu. Kau berkali-kali minta maaf dan aku terus-terusan melakukan gencatan. [aku sudah memaafkanmu sebenarnya, bahkan sebelum kau memintanya sayang.] kau mengajakku pergi makan dan menonton film. Kita masih bersikap seperti orang yang berpacaran. Dan seharusnya kau tahu! Sebenarnya aku beranggapan bahwa kita sudah kembali biasa dan tidak jadi putus. Namun, kau malah terus-terusan menanyakan apakah kita akan benar-benar putus. Aku jengkel. Lalu kau mengantarkanku pulang. Aku mengucapkan terima kasih, untuk makan malam dan acara menontonnya. Tapi, kau malah berterima kasih untuk semuanya. Aku terkejut. Kau menganggap semua ini selesai! Aku tak bisa berkata lagi. Aku lemas dan menyerah pada matamu. Aku pulang, lalu tidur. Benarkah yang terjadi? Kita putus? Aku masih belum percaya.

Aku meracau pada sahabatku. Semua racauanku adalah tentangmu. Aku menginginkanmu kembali. Masih dengan tawa. Karena aku percaya, hubungan kita akan kembali. Tapi malamnya, ketika kita saling berkirim pesan singkat, kau memperjelas semuanya. Walaupun awalnya kau berkata rindu dan masih sayang. Tapi kita tak bisa kembali. Kita berbeda. Aku tahu persis maksudmu. Aku pura-pura merasa baik-baik saja. Tapi aku tak tahan. Dadaku teramat sesak. Tenggorokanku tercekat dan teramat sakit. Pipiku sudah basah. Bahkan aku tak bisa bernafas lewat hidung lagi. Bantalku basah, tissueku habis, dan tangisku tak bisa kukendalikan juga, aku tersedu dan menjerit dalam bekapan bantal. Ini menyakitkan sayang. Sangat menyakitkan. Kau tahu? Entah sampai kapan aku bisa tahan dengan sakitnya. Aku takut tidur. Karena pasti akan ada kau di mimpiku. Dan lagi-lagi itu menyakitiku, dengan sangat.

Sayang, aku mencintaimu dengan semua caraku mencintaimu. [seperti dalam salah satu batang cinta berbentuk rokok yang kubuat untukmu. Apa kau telah membacanya? Membaca semuanya?] Ohh! Maaf kalau aku masih memanggilmu sayang. Karna aku tak mampu menyebut namamu di sini. Begini saja, anggap saja ini yang terakhir. Oke?


Sejenak aku juga ingin menuliskan ingatanku yang lain.

Aku menyukai alis tegasmu.

Aku menyukai hidung mancungmu.

Aku menyukai kulit halusmu yang gelap.

Aku menyukai rambut lurus kakumu, apalagi ketika kau potong cepak.[Kau akan terlihat tampan dan segar]

Aku menyukai pipi tirusmu yang seringkali kucium karna gemas.

Aku menyukai caramu menggodaku dengan senyum nakalmu.

Aku menyukai suara tawamu dan caramu tertawa, walau seringkali tampak berlebihan.

Aku menyukai caramu memandangku dengan beribu makna yang entah apa saja maknanya.

Aku menyukai caramu menahan asap rokok di mulutmu saat kau ketahuan merokok olehku.

Aku menyukai saat-saat kau mencubit pipiku dengan gemas.

Aku menyukai aroma tubuhmu.

Aku suka sekali memandangi wajahmu dan mencium harum tubuhmu setelah kau mandi.

Aku menyukai punggungmu, yang seringkali kecolongan kucium.

Aku suka saat dimana makanmu belepotan, lalu kuambilkan tissue, atau kulappi mulutmu yang belepotan.

Aku suka saat menyeka keringatmu dengan lengan cardiganku ketika wajahmu basah karna kepedasan.

Aku suka saat aku bisa menyubitimu dengan membabi buta, dan kau hanya meringis menahan sakit dan geli.

Aku suka saat kau menyentuhku, entah dengan gemas, ataupun dengan lembut.

Aku menyukai setiap leluconmu dan caramu membuatku tertawa.

Aku suka saat kau mencuri-curi menggigit punggungku. Menggelikan. Dasar gila!

Aku suka saat kau tiba-tiba bicara serius. Dengan siapapun. [karna kau tak pernah bisa serius denganku] Kau tahu? Kau terlihat seksi saat serius. Hehehe.

Aku menyukai saat aku bisa membenarkan ikat pinggangmu yang sering tidak rapi. Tapi kau bilang itu gaul. Hahaha

Aku suka perhatian yang kau berikan lewat jus strawberry, es krim strawberry, dan coklat.

Aku suka caramu memelukku dengan penuh riang dan tidak romantis.

Aku cinta caramu menciumku.

Aku suka saat kau memujiku. Kau kelewat sering memujiku.

Aku menyukai setiap usahamu membujukku, kapanpun itu, dan aku selalu luluh.

Aku menyukai setiap mimik wajahmu yang seringkali berubah-ubah.

Aku suka melihat performancemu saat lagu bergenre dangdut. Goyanganmu sangat asik. Ahaha.


Sayang, semua ingatan ini terlampau manis ternyata. Sadarkah? Emm.. Baiklah, aku tak mau cengeng. Aku menerimanya. Tapi sekali lagi, aku mau bilang, “aku mencintaimu, dalam diamku..”


(Yogyakarta, 4 Agustus 2009)

Empat hari setelah kita putus, dan aku masih juga menyayangimu, lebih dari yang kau tahu. Lalu, aku akan sangat merindukanmu, merindukan ingatan ini.


2 komentar:

satya bercerita mengatakan...

just one word.,
keren.,

Demas mengatakan...

Zus, welcome to the real world,
dan kau tahu?? kau menulis dengan sangat indah :)

semangat!! besok, lusa dan seterusnya!!