Jumat, 31 Mei 2013

Dibuang Sayang

Sukses Terbesar dalam Hidupku

Mungkin bukan hal yang mudah bagi saya berbicara atau berbagi tentang kesuksesan—apalagi  yang terbesar dalam hidup—di  usia saya sekarang ini. Namun rasanya kata sukses tidaklah sebegitu agung. Teringat ibu saya yang pernah berkata bahwa, sukses adalah ketika kita bisa atau berhasil mencapai dan memperoleh apa yang kita inginkan, dan berbahagia karenanya. Dan sejak saya setuju pendapat beliau tentang apa itu sukses, kesuksesan mulai datang satu demi satu ke dalam kehidupan saya.

Saya masih ingat benar, bagaimana sukses-sukses kecil itu muncul dalam hidup saya. Kesuksesan pertama saya adalah ketika saya akhirnya dapat memainkan gitar ketika masih duduk di kelas 6 SD. Waktu itu, karena seorang teman, saya begitu ingin bisa bermain gitar. Ibu kemudian dengan senang hati membelikannya untuk kami—aku dan kakakku—yang kemudian menjadi salah satu instrumen musik yang bisa saya mainkan dengan baik. Saya merasa sukses pada akhirnya bisa memainkan gitar tanpa harus berguru atau mengikuti kursus. Terlebih lagi, ketika hanya saya dan satu kawan saya (yang menginspirasi bermain gitar) yang menggunakan alat musik gitar ketika ujian praktek mata pelajaran musik. Bisa dibilang ini adalah kesuksesan pertama saya.

Kesuksesan yang muncul berikutnya mungkin lebih besar, namun pastinya belum yang terbesar. Dan tentu saja diperoleh dari usaha yang tidak mudah. Saya harus belajar dengan tekun untuk pada akhirnya bisa lulus SD dengan predikat lima terbaik, dan diterima di SMP Negeri terbaik se-Jateng di Semarang. Saya harus bisa beradaptasi dengan suasana sekolah negeri yang benar-benar berbeda dari sekolah swasta Katolik. Yang paling berat, saya harus rela menerima beberapa teman yang belum bisa menghargai dan bertoleransi dengan teman lain yang berbeda agama. Mesti bukan hal yang mudah, namun saya berhasil beradaptasi dengan baik dan  memiliki banyak teman.

Hingga saat ini pun saya masih merasa bahwa masa SMP adalah masa yang paling menantang dan emosional. Banyak hal baru yang saya dapat dan pelajari. Ketika SMP pula saya mulai mengenal realitas keberagaman yang tidak saya dapat ketika TK maupun SD. Tidaklah mudah menjadi kaum minoritas di tengah-tengah keberagaman, terutama keberagaman agama, tapi saya beruntung karena justru dari situlah saya bisa banyak belajar. Belajar bagaimana menghargai perbedaan dan mensyukuri keberagaman yang ada. Tentu saja, tanpa keberagaman hidup kita akan terasa sangat membosankan.

Setelah semua pengalaman yang saya alami ketika SMP, seharusnya tidaklah susah untuk menyesuaikan diri di SMA. Namun kenyataannya justru berbeda. Tahun-tahun pertama SMA adalah mimpi buruk. Saya benci harus pergi ke sekolah yang sebenarnya tidak benar-benar saya inginkan. Sebab saya tidak diterima di SMA favorit yang saya harapkan. Meskipun SMA saya masih terbilang favorit, tapi didanding SMA pilihan pertama saya, SMA saya ini tampak tak begitu menarik. Ditambah kebanyakan teman SMP yang diterima di SMA pilihan pertama saya. Saya merasa sedih, kecewa, dan kesepian.

Tapi saya percaya bahwa semua hal butuh waktu, termasuk saya. Saya hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri, mengikhlaskan kehilangan dan kekecewaan untuk kemudian menghadapinya. Benar saja, meskipun cukup lama, pada akhirnya saya bisa menikmati sekolah saya yang baru. Menjalani masa SMA yang orang bilang masa-masa yang paling indah dan menyenangkan. Dan saya jatuh cinta pada sekolah saya. Saya jatuh cinta pada gedung sekolah saya yang kecil dan kawan-kawan SMA saya yang penuh kejutan. Saya begitu menikmati masa tiga tahun di SMA untuk mempelajari banyak hal. Tidak hanya hal akademis, tapi juga non akademis: persahabatan dan “cinta monyet”.

Berhasil diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia adalah kesuksesan kecil yang menutup romantisme SMA saya. Tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya kami—saya dan orang tua—ketika pada akhirnya saya resmi menjadi mahasiswi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Apalagi ketika saya berhasil menyelesaikan kuliah saya di Filsafat UGM empat tahun sesudahnya dengan predikat sangat memuaskan. Mimpi saya yang satu per satu  menjadi nyata adalah salah satu bukti nyata bahwa selalu ada sukses bagi mereka yang mau berusaha.  

Meskipun demikian, belum ada kesuksesan terbesar, karena hidup terus berlanjut. Kesuksesan yang lebih besar akan selalu ada lagi, lagi, dan lagi. Atau bisa saja, beasiswa ini akan  menjadi sukses besar berikutnya dalam hidup saya.  Namun, seperti kata Albert Einstein, “Try not to become a man success, but try to become a man of value”, saya berusaha untuk menjadi manusia yang bernilai bagi sesama, bangsa dan negara, ketimbang sekedar manusia yang sukses.



(Ini adalah satu essay yang kubuat untuk apply beasiswa s2 beberapa waktu yang lalu. Yang ternyata belum rejekiku. Yah daripada dibuang, sayang, mending diposting di sini lah yah... meheheh)

Tidak ada komentar: