Senin, 05 Oktober 2009

Dalam pelarian bersama bus ekonomi

Pada sebuah akhir pekan, aku melakukan perjalanan yang kulakukan untuk menghindari ketakutanku. Ketakutanku akan sebuah situasi bernama kesepian. Ini tidak biasa. Hanya belakangan ini kurasakan. Dan aku tahu persis alasannya.

Dan kali ini, seperti minggu lalu, tentu saja karena masalah ekonomiku yang sedang buruk-buruknya, aku menggunakan jasa sebuah bus ekonomi untuk mengantarkanku pada sebuah pelarian. Dan biasanya, ketika aku menggunakan jasa bus patas [eksekutif], jarang sekali kutemukan, bahkan hampir tak pernah, sebuah percakapan yang berkesan terhadap penumpang di sampingku. Penumpang bus patas adalah tipikal penumpang yang menengah ke atas, high middle. Penumpang dengan penampilan rapi, beberapa beraroma sedap, pembawaan kalem, tujuan kota, berbicara seperlunya, dan tentu saja wajah yang jarang ada semburat garis ‘susah’nya. Lain bus patas, lain pula bus ekonomi yang sumpek, bertebaran asap rokok, angin nyelonong lewat jendela yang terbuka lebar-lebar, rentetan pengamen dan penjual asongan yang rame dan banyaknya ngalah-ngalahin penumpang, dan tentu saja dengan tipikal penumpang sebagai berikut: kucel-kucel, bau kecut keringat, baju ala kadarnya [bagi ibu-ibu: biasanya kebaya atau baju dengan warna nyeter dan motif kembang-kembang yang rame dengan parfum murahan yang bau wanginya sengak nyaingin kemenyan], berisik banget seperti di pasar [apalagi kalau bawa anak-anak], dan tentu saja dengan semburat garis ‘susah’ yang menghiasi setiap wajah. Ahhh.. inilah potret masyarakat marginal bangsa kita. Tak bisa dipungkiri lagi.

Mungkin saja, kini, karena aku menggunakan jasa bus ekonomi, seketika aku masuk menjadi golongan dengan semburat garis ‘susah’ nya. Hahaha. Yaah, begitulah, keadaan selalu bisa merubah seseorang. Seringkali aku mengeluhkan kondisi yang kupilih-pilih sendiri. Kondisi bus yang berisik, penuh asap rokok, dan menyilaukan mata [karena tak ada gorden]. Betapa anehnya manusia. Tapi lalu aku sadar, ini bukan hal terburuk dalam hidupku. Ini bukan situasi yang menjengkelkan sedunia. Ini hanya hal yang berada di luar dari kebiasaan. Itu saja, lalu aku menikmatinya, menikmati setiap menit perjalanan pelarianku, dengan setiap detail yang sebenarnya sangat mengasyikkan jika diperhatikan.

Pertama, aku duduk sendiri. Satu bangku kosong di sebelah kananku. Kuletakkan tasku yang berisi payung dan buku-buku di situ. Awalnya suasana di luar tidak terlalu panas karena sedikit mendung. Tiba- tiba seorang bapak duduk di sebelahku. Kuambil tasku yang tadi dan kupangku. Lalu aku tertidur. Cukup pulas sampai seorang pengamen, entah pengamen yang keberapa datang dan membuyarkan kosentrasi tidurku. [sejak kapan ya, tidur butuh konsentrasi?]. Tak lama kemudian, penumpang di sebelahku pindah, dan duduk di bangku baris depan dekat sopir. Aku sendiri lagi.

Bus berhenti, dan serombongan perwira TNI angkatan tua [karena aku tak tahu mereka itu TNI AU, AL, atau AD, dan karena umurnya sudah bisa dibilang tua]berbondong-bondong masuk ke bus yang kunaiki. Bus mendadak penuh. Bangku di sebelahku pun jadi terisi. Tak kuacuhkan, aku kembali tidur dibawa oleh semilir angin jendela yang tak henti-hentinya nyelonong masuk. Tiba-tiba situasi menjadi terik, dan suasana hatiku menjadi buruk. Aku memang paling tidak tahan panas. Kuambil tas tanganku, kuikatkan tali pegangannya di sebuah pipa pegangan tangan di jendela agar aku tak terkena teriknya sinar matahari siang itu. Seorang bapak-bapak TNI di sebelahku memerhatikan.

“Mau ke semarang ya mbak?”

“iya pak.”

“ asli semarang?”

“iya pak.”

Awalnya hanya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang singkat. Yang hanya berkisar tentang daerah asal, tujuan perjalanan, dan asal-usul masing-masing. Sampai pada sebuah pertanyaan yang sering terlontar oleh kebanyakan orang yang kutemui di tempat-tempat umum : “kuliah jurusan apa mbak?” Dan tentu saja kujawab, “jurusan filsafat, Pak.” Dan selalu saja dengan ekspresi yang sama [baca: bingung] ketika kusebutkan jurusan perkuliahan yang kuambil itu.

“Palsafah itu tentang islam-islam gitu ya?”

“Filsafat, Pak” , aku membenarkan pengucapannya, walaupun bukan hal yang penting juga.

“iya, palsafah, pilsapat.” Ahh, terserahlah bagaimana mau diucapkan.

“hmm.. bukan pak. Filsafat bukan ilmu tentang Islam.” Dan aku mulai bingung harus memulai menjelaskan darimana dan bagaimana. Mulailah kujelaskan bahwa filsafat adalah ilmu pertama yang muncul sebelum ilmu-ilmu yang lain. Dimana, filsafat dikenal sebagai induk dari segala ilmu dan tentang betapa luasnya cakupan yang bisa dipelajari di filsafat. Tentang berbagai pemikiran para filsuf dan berbagai ideology. Ahh, yang jelas, kubuat si bapak TNI itu sedikitnya punya bayangan tentang jurusan kuliahku itu.

Lalu, setelah kujelaskan panjang lebar, pertanyaan berikut yang klise yang selalu kupadapat sesudahnya adalah, “ kalau sudah lulus nanti, kerjaan buat sarjana filsafat itu apa mbak?” dan lagi-lagi, aku menjelaskan bahwa setiap bidang pekerjaan dapat diambil sarjana filsafat, sesuai dengan minat dan bakat maing-masing personnya, dan bla bla bla.. begitulah intinya. Semua anak filsafat pastinya tahu persis sikon seperti ini.

Tapi bukan itu yang menjadi inti percakapan kami. Ketika beliau tahu bahwa aku ngekos dan lain-lain, beliau, seperti layaknya orang tua yang lebih banyak pengalaman mulai memberi wejangan-wejangan. Dan begitu banyak pelajaran yang bisa kuambil dari percakapan kami itu. Dari pelarianku, yang kusyukuri, karena kulakukan dengan bus ekonomi. Akan sangat sulit, bahkan sepertinya tak mungkin kutemui pelajaran itu jika kugunakan bus patas dalam setiap pelarianku.

Hidup adalah perjuangan. Konvensional memang, tapi memang begitulah adanya, selalu ada yang harus diperjuangkan ketika ada sebuah asa dan keinginan.

Hidup adalah bersaing. Tidak beda jauh dengan pernyataan di awal tadi. Kita dituntut untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Begitulah dunia, penuh dengan tuntutan untuk menjadi ‘yang paling..’

Tak ada salahnya wanita menikah di usia 27. asalkan dia memiliki karir dan aktivitas yang berarti. [aku sangat setuju!]

Jangan terburu-buru menikah. Menikahlah jika kau sudah siap menikah. Menikahlah ketika kau sudah mapan [pekerjaan tetap dan usia kedewasaan yag pas]. Menikah bukan karena dipaksa orang dan dikejar-kejar usia. Menikahlah dengan orang yang kau cintai dan yang mencintaimu. Menikahlah saat kau merasa hidupmu akan lengkap jika ada seseorang di sampingmu untuk berbagi suka duka sampai mati. Menikahlah di saat yang tepat dan orang yang tepat. Semua akan indah pada waktunya kan?

Carilah ilmu sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya.

Jadilah orang yang berani dalam segala hal.

dan begitu banyak pelajaran tentang hidup, yang tentu saja belum kualami sebelumnya. inilah hidup, dimana ada hitam, putih, dan abu-abu. dan tentu saja dengan semua warna yang ada.

2 komentar:

Demas mengatakan...

Zus, aku masih update blog mu selalu lho ahahai (senengnya)

apa kabar?

bato mengatakan...

ntah kenapa pas baca posting yg ni..
aku kna feelnya ko pas katakata :

tak apa wanita menikah di usia 27.....dst

heh?
kiddin hehe..
tp bner kok, srius..
di bagian itu ky klimaksnya gt..
hehe

(hanya coba menerka yang menurutku "ingin kau sampaikan" saat membaca salah satu postingmu..)

xp